Ketahanan Pangan: Akankah Jadi Kenyataan?

  • Bagikan
Ilustrasi – Ketahanan Pangan.SUARAINDO.ID/SK

Suaraindo.id – Ketahanan pangan seharusnya menjadi fondasi kesejahteraan rakyat, tetapi di bawah sistem kapitalisme sekuler, harapan itu semakin menjauh. Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris dengan sumber daya alam melimpah, justru menghadapi krisis pangan yang tak kunjung usai. Alih fungsi lahan terus terjadi, dengan sekitar 133.000 hektar lahan pertanian beralih menjadi kawasan industri dan perumahan elite setiap tahunnya. Akibatnya, luas lahan pertanian semakin menyusut, produksi pangan menurun, dan kesejahteraan petani semakin terancam.

Sayangnya, pemerintah justru abai terhadap sektor pertanian. Infrastruktur penunjang seperti saluran irigasi dan jalan pertanian kurang mendapat perhatian, sementara subsidi pupuk, bibit unggul, dan sarana produksi lainnya perlahan dikurangi. Kondisi ini membuat petani semakin sulit meningkatkan produktivitas dan menghasilkan pangan berkualitas.

Selain itu, distribusi pangan yang tidak merata memperburuk keadaan. Harga pangan yang tinggi membuat banyak rakyat kesulitan mengakses kebutuhan dasar mereka. Sementara itu, oligarki dan kartel pangan semakin berkuasa, memainkan harga demi keuntungan pribadi. Penimbunan, spekulasi harga, dan berbagai praktik kecurangan masih marak terjadi, tanpa ada tindakan tegas dari negara.

Ketahanan pangan yang seharusnya menjadi prioritas nasional justru menjadi sekadar ilusi di bawah sistem kapitalisme. Alih-alih menyejahterakan rakyat, sistem ini lebih menguntungkan segelintir pemilik modal. Tanpa perubahan mendasar dalam kebijakan dan sistem ekonomi, negeri ini akan terus terjebak dalam krisis pangan yang semakin mengancam masa depan rakyatnya.

Islam menempatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai aspek yang sangat penting dalam membangun peradaban. Salah satu faktor utama dalam pembentukan SDM yang unggul adalah ketahanan pangan. Oleh karena itu, Islam mengatur sistem yang memastikan setiap individu mendapatkan akses pangan yang cukup dan berkualitas. Dalam sistem pemerintahan Islam yang berlandaskan akidah, kebijakan yang diambil bukan berdasarkan kepentingan individu atau oligarki, melainkan sesuai dengan prinsip Islam. Sistem ekonomi Islam mengelola seluruh aspek ketahanan pangan, mulai dari produksi (ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian), distribusi (mencegah praktik kecurangan dan monopoli), hingga konsumsi yang seimbang. Selain itu, sistem keuangan Islam mengoptimalkan sumber pemasukan negara—seperti kharaj, ganimah, fai, jizyah, dan pengelolaan sumber daya alam—untuk memastikan kebutuhan pangan rakyat terpenuhi. Sistem sanksi Islam juga tegas menindak kecurangan yang merugikan masyarakat.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan, Islam memiliki beberapa langkah konkret. Pertama, negara wajib menjamin ketersediaan lahan pertanian dan melarang alih fungsi lahan subur untuk kepentingan nonpertanian. Lahan yang dibiarkan tidak digarap oleh pemiliknya akan diambil negara dan diberikan kepada mereka yang mampu mengelolanya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., “Orang yang memagari tanah, tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah menelantarkannya selama tiga tahun.” Kedua, negara harus membangun industri berbasis teknologi berat untuk mendukung sektor pertanian. Dengan demikian, alat-alat produksi dapat dibuat secara mandiri tanpa bergantung pada negara lain, sehingga sektor pangan semakin kuat dan stabil.

Ketiga, Islam mendorong negara untuk mengembangkan riset pangan dan teknologi guna meningkatkan produktivitas pertanian. Hasil riset ini bukan untuk kepentingan bisnis atau oligarki, melainkan untuk kesejahteraan masyarakat. Keempat, Islam telah menetapkan anggaran negara melalui baitulmal yang bersumber dari pendapatan sah, seperti zakat, kharaj, jizyah, dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan sistem ini, negara tidak perlu bergantung pada utang atau investasi asing yang bersifat eksploitatif. Kelima, negara wajib memastikan distribusi pangan yang adil dengan dua mekanisme, yaitu harga dan nonharga. Mekanisme harga memastikan stabilitas dan keterjangkauan harga pangan, sementara mekanisme nonharga mewajibkan negara memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin atau mereka yang tidak mampu bekerja karena sakit atau cacat.

Dengan penerapan sistem Islam yang menyeluruh, ketahanan pangan tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga sebuah realitas yang menyejahterakan seluruh rakyat. Inilah solusi hakiki yang mampu mengakhiri kelaparan dan ketimpangan, serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berdaya.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan