Sistem Peradilan Pidana Perspektif Abolisionisme dan Ekonomi Mikro

  • Bagikan

Oleh: Pradikta Andi Alvat

CPNS Analis Perkara Peradilan (proyeksi cakim) Pengadilan Negeri Rembang

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah mekanisme kerja dalam proses penegakan hukum pidana yang dimulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan untuk menanggulangi tindak pidana. Menanggulangi tindak pidana dalam hal ini mengandung dimensi bekerjanya organ-organ dalam sistem peradilan berdasarkan prinsip pro justitia.

Secara historis. Sistem peradilan pidana sendiri pertama kali lahir dan diperkenalkan oleh para pakar hukum pidana di Amerika Serikat sekitar tahun 1960. Lahirnya sistem peradilan pidana sendiri dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur dan institusi penegak hukum, yang terbukti tidak mampu menekan angka kriminalitas di Amerika Serikat.

Menurut Prof. Muladi, tujuan dari sistem peradilan pidana dapat dikategorikan dalam 3 tataran yakni jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek dari sistem peradilan pidana adalah resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana. Sedangkan tujuan jangka menengah yang hendak dicapai adalah pengendalian dan pencegahan kriminalitas. Dan terakhir jangka panjang, tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Konkretnya, sistem peradilan pidana merupakan sebuah mekanisme yang memiliki tujuan agar tindak pidana atau kriminalitas dapat terkendali dalam batas yang wajar sehingga tidak mengganggu stabilitas dan eksistensi negara dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan negara, termasuk diantaranya, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Secara konseptual, sistem peradilan pidana memang dikonstruksikan sebagai sarana perlindungan bagi masyarakat dan memiliki efek derivasi bagi stabilitas sosial serta kesejahteraan sosial, namun dalam realitasnya, bekerjanya sistem peradilan pidana seringkali menampilkan kerja-kerja yang kurang produktif, baik yang dipengaruhi oleh substansi hukum  maupun kultur hukum misalnya minimnya ruang restorative justice (sebelum lahirnya peraturan internal kejaksaan dan kepolisian tentang restorative justice), praktik kekerasan dalam penyidikan, hingga previlege dalam lembaga pemasyarakatan.

Dalam buku Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme (1996), Romly Atmasasmita mengkritik sistem peradilan pidana berdasarkan pisau analisis teori abolisionisme. Menurut teori abolisionisme, sistem peradilan pidana memiliki banyak kekurangan dan menjadi sumber masalah sosial, sistem peradilan pidana menjadi dasar penjatuhan pidana yang tidak efisien, serta prosedural yang menciderai rasa keadilan. Sistem peradilan dianggap sebagai sistem yang problematik, khususnya terkait orientasi retributif.

Dalam pandangan abolisionisme, sistem peradilan pidana jangan menjadi sistem mekanik yang kaku dan jauh kondisi serta rasa keadilan dalam masyarakat, sistem peradilan harus mampu mengajwantah sebagai sistem yang fleksibel dan responsif dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif dan prinsip pemidanaan sebagai ultimum remedium.

Sejujurnya sumber problematik dari sistem peradilan pidana Indonesia salah satunya terletak pada substansi hukum, yakni KUHP sebagai ratio legis dari hukum pidana positif di Indonesia yang mengandung ajaran hukum pidana klasik, dimana menitikberatkan pada aspek perbuatan (delik pidana). Artinya, titik penekanannya adalah pada perbuatan bukan terhadap pelaku (faktor subyektif). Oleh karena itu, aspek penjeraan terasa lebih kental dari pada aspek restoratif.

Orientasi penegakan hukum pidana bersifat represif yang secara outcomes justru semakin menyuburkan berbagai praktik tindak pidana, lembaga pemasyarakatan di berbagai wilayah Indonesia mengalami over capacity. Hal ini merupakan salah satu indikasi kegegalan sistem peradilan pidana dalam membangun kehidupan hukum yang lebih baik.

Over capasity lembaga pemasyarakatan sendiri mengandung dua implikasi. Pertama, dis-optimalisasi fungsi lembaga pemasyarakatan dalam melakukan fungsi pembinaan dan resosialisasi narapidana. Kedua, terjadi pemborosan atau biaya anggaran negara membengkak untuk membiyai kebutuhan hidup narapidana, yang dalam pendekatan ekonomi tentu merugikan negara.

Menurut Romli Atmasasmita dalam bukunya Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (2017) mengutarakan 2 penyebab mengapa hukum pidana Indonesia belum bisa berkontribusi dalam membangun kehidupan negara yang lebih baik. Pertama, kurangnya pemahaman pembentuk Undang-Undang pidana yang lalu, di mana masih berpedoman pada peristiwa pidana yang telah terjadi (ex ante) tetapi belum mempertimbangkan dampak dari peristiwa pidana tersebut dengan menggunakan pendekatan maksimisasi, efisiensi, dan keseimbangan.

Kedua, penegakan hukum pidana selama ini masih menggunakan parameter keberhasilan semata (output) belum menggunakan parameter kemanfaatan bekerjanya hukum pidana (outcomes). Rumus sukses hukum pidana masih I (input) + P (Proses)= output, seharusnya, I (input) + P (proses) + output= outcomes (dampak). Aspek dampak hanya dapat mawujud jika dipergunakan juga pendekatan non-hukum yakni analisis ekonomi mikro yang melakukan kajian evaluasi berdasarkan prinsip maksimisasi, efisiensi, dan keseimbangan. Pendekatan analisis ekonomi mikro tersebut dapat mengubah analisis metaphysic menjadi analisis in-concreto yang terukur. Minimnya pendekatan ekonomi mikro dalam fungsionalisasi hukum pidana selama ini membuat penegakan hukum pidana kita masih belum efektif dan efisien.

Modderman, mantan Menteri Kehakiman Belanda mengatakan bahwa penjatuhan hukum pidana tidak harus selalu diutamakan, Modderman juga mengingatkan bahwa hukuman pidana tidak boleh menambah kronis “penyakit”. Dalam bahasa ekonomi, apa yang disampaikan oleh Modderman dapat diejawantahkan bahwa hukum pidana berikut sanksinya harus difungsikan secara efektif dan efisien.

Remmelink juga mengingatkan bahwa dalam porses legislasi (pembentukan hukum) ada dua asas hukum yang harus diperhatikan yakni asas proporsionalitas dan asas subsidaritas. Menurut J. Remmelink, penjatuhan sanksi (pidana) harus memperhatikan aspek ekonomi mikro, cost-benefit dari pada sekadar penjeraan semata. Dalam pendekatan ekonomi mikro, hukum pidana seharusnya mengutamakan dampak dari pada hukuman dari pada hanya soal keberhasilan “memenjarakan” saja.

Praksis dari pada prinsip maksimisasi, efisiensi, dan keseimbangan dalam fungsionalisasi hukum pidana dapat diejawantahkan dengan pendekatan restorative justice, individualisasi pidana, permaafan hakim, dan double track sanksi pidana. Keempatnya merupakan variabel yang memiliki kapabilitas untuk mengimplementasikan analisis ekonomi mikro demi efisiensi dan efektifitas hukum pidana.

Akhir sekali, dari semua pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa sistem peradilan pidana dalam perspektif abolisionisme diharapkan mampu menjadi sistem yang luwes dan mengedepankan keadilan restoratif, bukan retributif oriented. Sedangkan dalam perspektif ekonomi mikro, sistem peradilan pidana diharapkan mampu menjadi sistem yang efektif, seimbang, dan efisien untuk menanggulangi tindak pidana serta mewujudkan kesejahteraan sosial. *

Penulis: Tim LiputanEditor: Redaksi
  • Bagikan