Rezim Assad Runtuh: Babak Baru di Suriah dengan Dinamika Ketidakpastian

  • Bagikan
Orang-orang berdiri di dekat patung mantan presiden Suriah Hafez al-Assad yang rusak setelah pemberontak Suriah mengumumkan bahwa mereka menggulingkan Presiden Bashar al-Assad, di Qamishli, Suriah, 8 Desember 2024. foto : suara kalbar

Suaraindo.id – Sejarah panjang kekuasaan dinasti Assad selama lima dekade resmi berakhir. Pemberontak Suriah, Minggu (8/12/2024), mengumumkan melalui televisi pemerintah bahwa mereka berhasil menggulingkan Presiden Bashar al-Assad. Langkah ini menjadi momen penting sekaligus memicu kekhawatiran baru terkait stabilitas kawasan Timur Tengah.

Rezim Berakhir, Pemberontak Kuasai Ibu Kota

Seorang perwira Suriah mengungkapkan bahwa komando militer telah memberi tahu jajaran perwira bahwa rezim Assad telah runtuh. Namun, militer menyatakan tetap melanjutkan operasi terhadap “kelompok teroris” di berbagai kota seperti Hama dan Homs.

Sementara itu, Presiden Assad dilaporkan meninggalkan Damaskus menuju lokasi rahasia, meskipun media pemerintah membantah klaim ini. “Assad tetap berada di Damaskus menjalankan tugasnya,” demikian pernyataan media pemerintah, menyangkal rumor yang beredar di media sosial.

Damaskus menjadi saksi perubahan besar ketika pasukan pemberontak memasuki ibu kota, meninggalkan jalanan kota dalam suasana ketidakpastian. Wartawan melaporkan bahwa markas polisi utama telah ditinggalkan, sementara pos pemeriksaan tentara kosong dengan seragam-seragam yang tergeletak di tanah.

Homs dan Wilayah Strategis Jatuh ke Tangan Pemberontak

Kota Homs, simbol perlawanan terhadap Assad, menjadi salah satu kota besar yang berhasil dikuasai pemberontak. Ribuan warga Homs merayakan kemenangan ini, menandai runtuhnya kontrol rezim Assad.

Perebutan Homs menjadi titik balik dalam konflik yang telah berlangsung selama 13 tahun. Kota ini adalah pusat strategis yang menghubungkan Damaskus dengan wilayah pesisir Latakia dan Tartus, tempat pangkalan angkatan laut Rusia berada.

Selain Homs, pemberontak juga mengambil alih Aleppo, Hama, dan sebagian besar wilayah selatan negara itu. Dengan penguasaan jalan raya utama, kelompok oposisi kini memiliki kendali penuh atas sebagian besar Suriah.

Masa Depan Politik Suriah: Transisi dan Tantangan

Dalam situasi yang terus berkembang, Perdana Menteri Mohammad Ghazi al-Jalali menyerukan transisi politik damai melalui pemilu bebas. Jalali mengungkapkan bahwa pemerintah siap menyerahkan fungsinya kepada pemerintahan transisi demi stabilitas negara.

“Kami mengulurkan tangan kepada semua pihak, termasuk oposisi, untuk bersama-sama membangun masa depan Suriah yang damai dan demokratis,” ujar Jalali.

Namun, tantangan besar menanti Suriah dengan beragam kepentingan yang melibatkan kelompok Islamis, kekuatan lokal, serta negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Turki.

Respon Internasional dan Situasi Kemanusiaan

Utusan khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, menyerukan pembicaraan mendesak untuk memastikan transisi yang teratur. PBB juga memindahkan staf yang tidak esensial ke luar negeri sebagai langkah pencegahan.

Di sisi lain, ribuan warga Suriah mencoba meninggalkan negara itu melalui perbatasan Lebanon, tetapi ditolak karena penutupan perbatasan utama. Suplai bahan pokok di Damaskus semakin langka, dengan harga barang melonjak hingga tiga kali lipat.

Babak Baru dengan Harapan dan Kekhawatiran

Keberhasilan pemberontak dalam menggulingkan rezim Assad menjadi momen penting dalam sejarah modern Suriah. Namun, dengan berbagai kelompok yang memiliki agenda masing-masing, masa depan Suriah penuh dengan tantangan.

Apakah transisi menuju demokrasi dapat tercapai? Ataukah Suriah akan kembali terjebak dalam konflik dan ketidakpastian? Hanya waktu yang dapat menjawab. Yang jelas, dunia tengah menyaksikan babak baru yang akan menentukan nasib jutaan rakyat Suriah dan stabilitas kawasan Timur Tengah.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan