NTB Jadi Provinsi Tertinggi Kasus Perkawinan Anak, Lotim Penyumbang Terbanyak

  • Bagikan

SUARAINDO.ID ——- Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tercatat sebagai daerah dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia.

‎Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) NTB yang diolah oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi NTB, jumlah kasus perkawinan anak mencapai 4.082 kasus, dengan kontribusi terbesar berasal dari Kabupaten Lombok Timur.

‎Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM) NTB, Ririn Hayudiani menegaskan, angka tersebut mencerminkan darurat sosial yang berdampak luas terhadap kemiskinan dan ketimpangan gender di daerah.

‎”Satu kasus saja bisa menciptakan keluarga miskin baru. Apalagi jika jumlahnya mencapai lebih dari empat ribu. Ini bukan hanya persoalan kemiskinan atau pendidikan, tetapi juga cara pandang masyarakat terhadap perkawinan anak,” ujar Ririn dalam sebuah kegiatan sosialisasi di Jerowaru, Sabtu 1 Nopember 2025.

‎Ririn menambahkan, praktik perkawinan dibawah umur terjadi di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari keluarga berpenghasilan rendah hingga tinggi.

‎Hal tersebut menunjukkan bahwa penyebabnya bukan semata faktor ekonomi, melainkan budaya dan pemahaman yang keliru terhadap konsep pernikahan dini.

‎“Dulu NTB masih berada di peringkat enam atau tujuh di bawah Sulawesi Barat, tapi sekarang kita nomor satu secara nasional. Ini alarm bagi kita semua,” tegasnya.

‎Pencegahan perkawinan anak tidak bisa hanya diserahkan pada lembaga tertentu, melainkan memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, tokoh agama, media, dan dunia pendidikan.

‎Ririn juga mengingatkan, praktik perkawinan anak merupakan pelanggaran hukum sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

‎“Dalam Pasal 10 UU TPKS jelas disebutkan, siapa pun, dengan alasan apa pun, baik agama, budaya, atau adat tidak boleh melakukan perkawinan anak. Sanksinya pidana sembilan tahun penjara atau denda Rp200 juta,” tegasnya.

‎Sebagai bentuk upaya nyata, LPSDM NTB telah membentuk pos-pos pengaduan di sejumlah desa melalui program “Sekolah Perempuan”.

‎Pos tersebut berfungsi memberikan pendampingan dan edukasi agar desa-desa mampu mencapai zero tolerance terhadap perkawinan anak.

‎”Beberapa desa yang punya pos pengaduan. Kami berharap model ini bisa direplikasi ke lebih banyak desa, terutama di wilayah terpencil,” katanya.

‎Sementara itu, Kabid Pemberdayaan Perempuan DP3AKB Lombok Timur, Budiman Satriadi mengatakan, hal tersebut harus menjadi pekerjaan rumah bersama antara pemerintah, lembaga masyarakat, dan dunia pendidikan.

‎”Masih banyak masyarakat yang menganggap perkawinan setelah tamat SD atau SMP itu hal biasa. Padahal itu harus diubah. Anak-anak kita harus disekolahkan setinggi mungkin agar paham dampak buruk perkawinan dini,” ujar Budiman.

‎Menurutnya, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur telah memiliki berbagai regulasi daerah (Perda dan Perbup) yang mendukung upaya pencegahan perkawinan anak dan perlindungan perempuan.

‎Namun, implementasinya masih membutuhkan kerja sama lintas sektor.

‎”Kami sudah bekerja sama dengan LSM, lembaga pendidikan, hingga universitas yang melakukan pengabdian masyarakat untuk memberikan pemahaman ke desa-desa,” tambahnya.

‎Budiman berharap, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat, praktik perkawinan anak yang dulu dianggap lumrah bisa perlahan dihapuskan.

‎“Dulu hal ini dianggap biasa, tapi sekarang harus menjadi sesuatu yang tabu. Kita ingin anak-anak perempuan NTB bisa tumbuh dengan sehat dan berpendidikan tinggi,” pungkasnya.

Penulis: nanangEditor: Redaksi
  • Bagikan