![]() |
Psikolog, Partika Dhimas Pangestu. |
Suaraindo.id – Tidak dapat dielakkan, wabah Coronavirus Disease atau Covid-19 telah mengakibatkan kecemasan di masyarakat. Ditambah lagi, banyaknya korban meninggal dunia akibat terpapar virus tersebut.
Dalam situasi seperti ini, masyarakat dituntut untuk menjaga imunitas tubuh agar tetap mampu melawan ganasnya virus itu. Di sisi lain, imunitas psikis masyarakat justru menurun akibat munculnya kecemasan yang berlebihan. Sehingga dapat berakibat buruk bagi daya tahan tubuh mereka sendiri.
Menanggapi realitas ini, Partika Dhimas Pangestu, S.Psi, M.Psi. Psikolog yang juga Direktur Borneo Psychology Consulting menjelaskan bahwa kondisi kecemasan atau kepanikan yang terjadi di masyarakat dapat dikenali dengan istilah stres.
“Stres sering disalahartikan yakni seseorang yang memiliki kelainan jiwa. Padahal semua orang yang masih bernafas sudah barang tentu punya stres. Pembedanya adalah tingkatan (ringan, sedang atau berat). Stres sendiri tidak datang dengan sendiri, selalu ada penyebab secara internal ataupun eksternal sehingga penyebab ini bisa disebut dengan stresor,” jelas dia, Selasa (28/4/2020).
Dikatakannya, kondisi kedaruratan Covid-19 telah banyak merubah pola pikir, sikap dan gaya hidup manusia secara menyeluruh. Termasuk di Kabupaten Sanggau.
“Kan ada yang bersikap biasa saja. Bahkan ada yang berlebihan hingga terkesan paranoid. Namun, tidak serta merta membuat mereka disebut memiliki gangguan kejiwaan. Tetapi lebih tepat disebut sebagai cara seseorang dalam memberikan respon,” katanya.
Dhimas melanjutkan, bahwa ada istilah yang terkenal yakni Fight or Flight. Sejatinya, kata dia, dalam konteks psikologi, respon manusia pada dasarnya dikenal dengan 3F yakni Frezee (membeku), Fight (Menyerang) dan Flight (Menghindar). Respon ini khususnya pada saat terjadi situasi yang mengancam diri seseorang.
“Seperti yang terjadi sekarang. Misalkan respon yang berlebihan saat orang lain batuk, bersin atau bahkan tidak mau bersalaman. Ini merupakan respon otomatis cara seseorang secara primitif untuk menyelamatkan dirinya. Hal semacam ini bisa disebut sebagai Flight. Ada juga yang merespon dengan menolak seseorang yang meninggal dunia, meskipun belum tentu terkena virus tersebut, atau memang terkonfirmasi virus, ini bisa disebut sebagai flight. Tapi tidak dilupakan juga ada respon orang yang menjadi tidak mampu berkata-kata, shock dan pasrah, ini disebut sebagai frezee,” terang lulusan pascasarjana profesi psikologi Universitas Surabaya itu.
Apapun bentuknya, lanjut Dhimas, tidak ada yang bisa dicari kesalahannya antara pelaku dan korban. Karena dimasa krisis dan kedaruratan, semua orang sedang mengalami krisis mental yang mudah sekali untuk terguncang.
“Dalam kondisi begini, kepekaan, simpati bahkan empati perlu ditingkatkan. Perlu juga menjadi perhatian adalah karena kecemasan ini, kadang kala orang-orang mulai tidak berempati satu sama lain,” tegas pria berkacamata itu.
Dhimas menyarankan untuk tetap menjaga stabilitas psikis sebagai pendukung stabilitas imun dalam tubuh manusia. Sehingga mampu tetap sehat ketika wabah ini masih terus melanda.
“Jika ada keluhan dari warga terkait kecemasan bagi warga terdampak Covid-19, dapat mengunjungi website Himpunan Psikologi di www.himpsi.or.id. atau dapat menghubungi layanan Konsultasi Psikologi di 119 (ext 8) semua layanan gratis,” katanya. (R_209)