Suaraindo.id–Junta militer Myanmar akan berpartisipasi di pengadilan tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Den Haag minggu depan. Lawan politik melihat langkah ini dapat memberikan pengakuan internasional tanpa kedudukan hukum kepada junta.
Serangkaian sidang tersebut memperumit sengketa yurisdiksi terkait klaim Gambia yang diajukan pada 2019 di Mahkamah Internasional (ICJ), juga dikenal sebagai Pengadilan Dunia. Gambia menuduh Myanmar melakukan genosida terhadap populasi minoritas Muslim Rohingya.
Lebih dari 730.000 Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah kekerasan yang dilakukan militer pada 2017. Mereka dipaksa masuk ke kamp-kamp kumuh di seberang perbatasan di Bangladesh. Penyelidik PBB menyimpulkan bahwa kampanye militer dilakukan dengan “niat genosida.”
Sebelum Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) sipil pimpinan Aung San Suu Kyi ditumbangkan oleh kudeta militer setahun yang lalu, dia membantah tuduhan genosida tersebut. Gambia adalah sebuah negara Afrika berpenduduk mayoritas Muslim yang dalam hal ini didukung oleh Organisasi Islam yang terdiri dari 57 negara.
Saat ini, perwakilan junta diharapkan menghadiri sidang virtual di pengadilan PBB yang menangani perselisihan antar negara. Mereka akan berurusan dengan pertarungan antara militer dan NUG untuk mendapatkan pengakuan di pengadilan. Audiensi akan dimulai pada Senin (21/1).
Sejumlah badan PBB telah mengundang perwakilan junta ke pertemuan meskipun militer Myanmar tidak memiliki kedudukan resmi di markas besar PBB di New York. Komite kredensial Majelis Umum PBB memutuskan pada Desember untuk menunda keputusan masalah tersebut.
Sementara itu, komite kredensial telah mengizinkan Kyaw Moe Tun, perwakilan pemerintah yang digulingkan dalam kudeta militer 1 Februari 2021, untuk tetap menjabat.
Anggota NUG mengatakan awal pekan ini bahwa Kyaw Moe Tun, yang juga ditunjuk oleh pemerintah yang digulingkan untuk mewakilinya di Den Haag, adalah “satu-satunya orang yang berwenang untuk terlibat dengan pengadilan atas nama Myanmar.”
“Junta bukanlah pemerintah Myanmar,” kata Christopher Sidoti, seorang pengacara hak asasi manusia dan mantan anggota misi pencari fakta PBB di Myanmar.
“Junta tidak memiliki wewenang atau kemampuan untuk bertindak sebagai pemerintah Myanmar di dalam atau di luar negeri. Tetapi dengan tampil di hadapan ICJ, itulah yang akan coba dilakukan,” kata Sidoti kepada Reuters.
“Rakyat Myanmar dengan jelas menolak junta, memperjelas bahwa militer tidak mewakili mereka,” kata Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, menyinggung serangkaian protes rakyat terhadap kekuasaan militer.
ICJ belum mempertimbangkan kegunaan tuduhan genosida. Suu Kyi pada Desember 2019 meminta Pengadilan Dunia untuk menolak klaim Gambia, menyangkal genosida dan mengatakan ICJ seharusnya tidak memiliki yurisdiksi. [ah/rs]