Jutaan Anak Indonesia akan Menanggung Beban Berat Dampak Krisis Iklim

  • Bagikan
Anak-anak bermain di genangan air setelah hujan deras di Kampung Melayu, Jakarta Selatan. (Foto: VOA)

Lembaga Save the Children mengatakan krisis iklim di Tanah Air membawa dampak nyata dan dirasakan anak-anak saat ini. Anak-anak di Indonesia yang lahir 2020 berisiko menghadapi tiga kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, dua kali lebih banyak mengalami kekeringan serta tiga kali lebih banyak gagal panen.

Laporan global Save the Children Born into the Climate Crisis dan dirilis bulan September 2021 menjelaskan lebih buruk lagi, dampak krisis iklim ini membuat jutaan anak dan keluarga jatuh dalam jurang kemiskinan dalam jangka panjang di Indonesia.

“Ini merupakan suatu gambaran yang suram untuk masa depan anak-anak kita. Saat ini 40 persen populasi di Indonesia adalah anak-anak dan orang muda yang rentan akan dampak buruk krisis iklim. Sayangnya, anak-anak kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk bisa melakukan upaya mandiri untuk mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim,” kata Wakil Ketua II Yayasan Save the Children Indonesia, Rosianto Hamid dalam peluncuran Aksi Generasi Iklim, Jumat (22/4), bertepatan dengan peringatan Hari Bumi.

Anak-anak korban banjir di Batu, Jawa Timur, bermain di posko kesehatan dan psikososial yang didirikan oleh komunitas ALIT Indonesia dan Kalingga, pada 12 November 2021. (Foto: VOA/Petrus Riski)
Anak-anak korban banjir di Batu, Jawa Timur, bermain di posko kesehatan dan psikososial yang didirikan oleh komunitas ALIT Indonesia dan Kalingga, pada 12 November 2021. (Foto: VOA/Petrus Riski)

Di 2022, Save the Children Indonesia mengusung aksi generasi iklim agar anak-anak memiliki pengetahuan yang cukup untuk upaya mandiri untuk mitigasi dan adaptasi terhadap krisis Iklim. Aksi tersebut merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi dan dipimpin oleh anak-anak dan orang muda untuk memastikan anak-anak dan keluarga, terutama mereka yang terdampak secara langsung dari krisis iklim, dapat melakukan upaya-upaya bertahan hidup dan beradaptasi. Aksi tersebut diharapkan dapat memperkuat sistem penanganan perubahan iklim yang lebih berpihak pada anak. Kampanye itu akan berlangsung selama tiga tahun.

Aksi Generasi Iklim diprakarsai oleh anak-anak Indonesia terutama mereka yang berhadapan dan terdampak langsung dari krisis iklim, anak-anak tersebut berasal dari Provinsi Jawa Barat, Sulawesi Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.

Ranti (17) asal Kabupaten Bandung, Jawa Barat mengatakan kualitas air di desa tempat tinggalnya semakin menurun. Hal itu menurutnya dipengaruhi oleh perubahan fungsi kawasan hutan untuk wisata dan pembangunan pabrik yang juga ternyata membuang limbah langsung ke sungai.

“Dari sini saya tersadar ternyata isu perubahan iklim ini sudah ada di lingkungan kita. Saat ini kita harus sama-sama mau ikut menyuarakan aksi generasi iklim karena anak-anak lebih rentan mengalami misalkan kalau dari sisi kesehatan, mereka rentan mengalami asma dan penyakit kulit, dan tentunya lahan untuk bermain pastinya akan berkurang,” kata Ranti.

Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sri Tantri Arundhati menyampaikan dukungan terhadap kampanye Aksi Generasi Iklim untuk mengedukasi anak-anak dan anak muda terkait adaptasi perubahan iklim. Edukasi terkait adaptasi perubahan iklim dapat dilakukan mulai dari tingkat keluarga, sekolah, serta dukungan media massa.

Berbagai jenis dan merk kemasan plastik asal Amerika Serikat, turut mencemari lingkungan hidup di Indonesia. (Foto: VOA/Petrus Riski)
Berbagai jenis dan merk kemasan plastik asal Amerika Serikat, turut mencemari lingkungan hidup di Indonesia. (Foto: VOA/Petrus Riski)

“Media massa itu sangat penting karena dia punya cara untuk bagaimana menyampaikan secara mudah untuk dicerna dan dipahami,” kata Sri Tantri Arundhati dalam kegiatan itu.

Faktor Iklim dan Cuaca

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sendiri pada 2018 telah memperkirakan adanya perubahan iklim dan cuaca di Tanah Air yang sangat ekstrem pada 2020-2025. Demikian pula Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mengatakan tahun 2020 terkait kejadian bencana menyebutkan terdapat sebanyak 4.650 total kejadian bencana alam dan 99,2% merupakan kejadian bencana yang berasosiasi dengan faktor iklim dan cuaca.

Data yang dikutip Save the Children menunjukkan, di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), jumlah pengungsi akibat kekeringan bertambah secara signifikan dari 21.688 jiwa pada 2018 menjadi enam kali lebih besar pada 2019 hingga mencapai 139.746 jiwa, termasuk anak-anak.

Situasi penyelamatan dan evakuasi empat anak-anak yang tertimpa tanah longsor kompilasi sedang bermain di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, Kamis sore (10/1). (Foto milik: Pusdalops BPBD Sukabumi)
Situasi penyelamatan dan evakuasi empat anak-anak yang tertimpa tanah longsor kompilasi sedang bermain di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, Kamis sore (10/1). (Foto milik: Pusdalops BPBD Sukabumi)

Di Sulawesi Selatan, jumlah populasi terpapar gelombang tinggi dan abrasi diperkirakan mencapai 265.307 jiwa. Dari angka tersebut, 40.508 jiwa merupakan kelompok rentan termasuk anak-anak. Anak-anak yang berada di wilayah Kepulauan Selayar, Takalar, Pangkajene Kepulauan dan Makassar memiliki risiko tinggi abrasi.

Di Jawa Barat, catatan statistik 2022 menyebutkan jumlah kejadian banjir mencapai 247 pada tahun 2021. Dari kejadian tersebut, korban meninggal dunia 20 orang, 282 mengalami luka dan 1.440.252 orang terdampak dan mengungsi termasuk anak-anak. Jumlah kelurahan/desa terdampak banjir dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat bertambah secara signifikan sejak 2019 hingga 2021. [yl/ah]

  • Bagikan