Oleh: Pradikta Andi Alvat
CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang
DALAM penegakan hukum pidana, pemidanaan merupakan salah satu pendekatan untuk menyelesaikan perkara tindak pidana. Selain itu, secara teoritik maupun praktik juga dikenal alternatif pendekatan lain sebagai sarana untuk menyelesaikan perkara tindak pidana. Salah satunya pendekatan restorative justice.
Restorative justice merupakan mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga, dan pihak lain untuk mencari jalan keluar terbaik dengan menitikberatkan pada pemulihan dan menghindari pembalasan serta mempertimbangkan aspirasi korban dan tanggungjawab pelaku.
Dalam ranah epistimologis, pendekatan restorative justice pada prinsipnya menekankan pada terwujudnya konsep musyawarah dan partisipasi secara komprehensif sebagai jalan untuk menemukan solusi permasalahan terbaik atas terjadinya tindak pidana, yang meliputi 3 aspek: pemenuhan kepentingan korban, pemenuhan tanggungjawab pelaku, dan restorasi hubungan antara korban dan pelaku.
Kemudian, dalam ranah ontologis, jika teori pemidanaan berangkat dari konstruksi pemikiran “Mengapa perlu dilakukan pemidanaan?” dalam hal ini berkaitan dengan nilai eksistensi dan urgensi adanya pemidanaan. Hal ini berbeda dengan pendekatan restorative justice, yang merupakan a contrario dari pada teori pemidanaan.
Restorative justice lahir dari konstruksi ontologis “Mengapa pidana diperlukan (jika ada sarana lain yang lebih efektif dan fungsional)?”, dalam hal ini berbicara mengenai efisiensi dan efektivitas pemidanaan, yang sarana praksisnya berujung pada restriksi pemidanaan. Jika dielaboratif, pendekatan restoratif justice menekankan pada pemenuhan keadilan restoratif, sedangkan pada pendekatan pemidanaan menekankan pada keadilan retributif dan resosialisasi.
Secara aksiologis, restorative justice menekankan pada terwujudnya 4 hal. Pertama, meletakkan hukum pidana kembali pada khitahnya sebagai ultimum remedium (obat terakhir), jika upaya hukum lain dan mekanisme perdamaian tidak terwujud. Kedua, menekankan pada tanggungjawab pelaku tindak pidana secara langsung kepada korban atas tindak pidana yang dilakukan kepada korban. Ketiga, memperhatikan kepentingan dan perlindungan korban tindak pidana. Keempat, membangun hubungan yang harmonis kembali antara korban dan pelaku tindak pidana.
Secara praktis, pendekatan restorative justice sendiri memiliki beberapa nilai urgensi secara fungsional dalam bekerjanya hukum pidana. Pertama, viabilitas nilai keadilan substantif. Pendekatan restorative justice, memiliki viabilitas lebih besar bagi terwujudnya keadilan substantif. Ada 3 prinsip yang terbangun dalam pendekatan restorative justice, yakni keberpihakan dan perlindungan kepentingan korban tindak pidana, tanggungjawab dari pelaku tindak pidana, dan restorasi hubungan antara korban tindak pidana dengan pelaku tindak pidana. Berdasarkan prinsip tersebut, maka nilai keadilan substantif akan lebih kompatibel terwujud.
Kedua, keperpihakan pada korban. Pendekatan restorative justice lebih ramah dan akomodatif terhadap kepentingan korban tindak pidana. Karena kepentingan korban tindak pidana menjadi titik fundamental dalam penyelesaian masalah. Jika pemidanaan lebih fokus kepada pelaku tindak pidana yakni bagaimana menghukum pelaku setimpal dengan perbuatannya sehinga ada efek jera, maka pendekatan restorative justice lebih menitikberatkan pada kepentingan korban disertai dengan konsekuensi tangungjawab dari pelaku serta adanya pemulihan hubungan setelah terjadinya konflik/masalah.
Ketiga, mengatasi over capasity lembaga pemasyarakatan. Pendekatan restorative justice adalah jawaban bagi solusi over capasity lapas. Menurut data dari Ditjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM per 12 September 2021, kapasitas lembaga pemasyarakatan di 33 kantor wilayah sebanyak 134.835 ribu orang namun diisi oleh 271.007 ribu orang. Artinya, terjadi over capasity lembaga pemasyarakatan sebesar 101%. Dengan adanya pendekatan restorative jutice, maka otomatis pendekatan pemidanaan akan berkurang, sehingga over capasity lembaga pemasyarakatan dapat diatasi.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan restorative justice dalam perspektif filsafat hukum bukan sekadar upaya damai semata. Melainkan sebuah upaya persuasif, integral, dan komprehensif untuk mendapatkan keadilan yang hakiki atau substantif, dengan jalan musywarah-partisipatif, melibatkan pelaku, korban, dan pihak ketiga, meletakkan sanksi pidana sebagai jalan terakhir, menekankan pada aspek kepentingan korban, tanggungjawab pelaku, serta restorasi hubungan.*