Hong Kong Komentari Putusan WTO Soal Produk ‘Buatan China’

  • Bagikan
ILUSTRASI - Produk buatan China di sebuah toko di Kenya.

Suaraindo.id – Para arbiter Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Rabu (22/12) menyimpulkan bahwa AS keliru dalam mewajibkan agar produk dari Hong Kong dilabeli “Made in China” atau “Buatan China,” suatu langkah yang merupakan bagian dari tanggapan Washington terkait penindakan keras terhadap protes prodemokrasi di sana pada tahun 2019-2020.

Panel penyelesaian sengketa WTO mendapati bahwa AS melanggar kewajibannya berdasarkan aturan badan perdagangan itu dan menolak argumen Washington bahwa “kepentingan keamanan esensial” AS mengizinkan pelabelan semacam itu.
Menurut panel itu, situasi tersebut bukan suatu hal “darurat” yang akan membenarkan pengecualian semacam itu di bawah aturan WTO.

Pada keterangan pers hari Kamis (22/12), Menteri Perdagangan Hong Kong Algernon Yau mengatakan ia telah menulis kepada Perwakilan Dagang AS yang mendesak AS agar membatalkan persyaratan label itu.

Pasar AS hanya mencakup sekitar 0,1 persen dari ekspor Hong Kong. Tetapi persyaratan itu telah menyebabkan “kekhawatiran yang tidak perlu” bagi para produsen, katanya.

“Meskipun implikasi finansialnya minimal, ini menyebabkan banyak kebingungan pada pelanggan terkait ‘Made in Hong Kong’ atau ‘Made in China,” lanjut Yau.

AS atau Hong Kong dapat mengajukan banding atas putusan itu ke mahkamah banding WTO. Namun, mahkamah tersebut sekarang ini sedang tidak aktif karena AS praktis menunda pengangkatan anggota baru ke mahkamah tersebut di tengah-tengah kekhawatiran badan itu melampaui mandatnya. Karenanya, pengajuan banding seperti itu akan batal ditengahi dan tetap tidak terselesaikan.

Kantor Perwakilan Dagang AS mengindikasikan akan mengabaikan putusan hari Rabu itu.

Hong Kong, bekas koloni Inggris, adalah salah satu wilayah administrasi khusus China dan dianggap sebagai entitas perdagangan terpisah dari China.

Tiga dekade silam, Kongres AS mengesahkan UU yang mengizinkan produk Hong Kong memanfaatkan status perdagangan yang berbeda dengan produk yang berasal dari China, dan kemungkinan mendapatkan tarif lebih rendah, jika daerah itu dianggap tetap cukup otonom. Dengan menandai produk sebagai ‘Made in China.’ AS dapat menaikkan tarif yang dikenakan terhadap barang-barang dari Hong Kong.

Protes massal berlangsung berbulan-bulan di Hong Kong pada 2019-2020. Protes itu mereda setelah Beijing memberlakukan UU Keamanan Nasional, menggunakannya untuk membungkam atau memenjarakan banyak aktivis prodemokrasi,
Pada Juli 2020, presiden AS ketika itu, Donald Trump, mengeluarkan perintah eksekutif yang menyatakan bahwa Hong Kong “tidak lagi cukup otonom untuk mendapatkan perlakuan berbeda dalam kaitannya dengan China.” [uh/ab]

  • Bagikan