Filipina Tolak Penyelidikan ICC Terkait Pemberantasan Narkoba Duterte

  • Bagikan
FILE- Kantor Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, 12 Januari 2016. (AP/Mike Corder, File)

Suaraindo.id – Menteri Kehakiman Filipina, Jumat (27/1), mengatakan bahwa setiap penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang melanggar kedaulatan negara terkait tewasnya para tersangka pengedar narkoba selama tindakan keras antinarkoba di bawah mantan Presiden Rodrigo Duterte akan “benar-benar tidak dapat diterima”.

Jesus Crispin Remulla mengeluarkan pernyataan itu sebagai reaksi terhadap keputusan pengadilan yang berbasis di Den Haag itu sehari sebelumnya yang mengizinkan Jaksa Penuntut Karim Khan melanjutkan penyelidikan yang ditangguhkan pada akhir 2021 setelah pemerintah Duterte mengatakan telah menyelidiki pembunuhan tersebut dan berpendapat bahwa ICC tidak memiliki yurisdiksi.

Keputusan ICC disambut baik oleh kelompok-kelompok HAM dan kerabat dari sebagian besar tersangka yang terbunuh dalam tindakan keras yang dilakukan polisi di bawah perintah Duterte.

“Berbagai inisiatif dan proses penyelidikan dalam negeri (Filipina), setelah dievaluasi bersama, tidak mencerminkan langkah investigasi yang nyata, konkret dan progresif,” kata panel hakim ICC dalam keputusan mereka, Kamis, setelah memeriksa informasi dari pemerintah Filipina dan Khan, dan mempertimbangkan komentar dari para korban.

Remulla menolak penyelidikan ICC karena dianggap melanggar kedaulatan Filipina dan independensi sistem peradilannya.

“Kami memiliki sistem peradilan yang berfungsi penuh dan saya tidak melihat ke mana mereka akan masuk, peran apa yang akan mereka mainkan, kecuali mereka ingin mengambil alih sistem hukum kami atau mereka ingin mengambil alih negara kami,” kata Remulla di konferensi pers. “Ini tidak boleh terjadi.”

Pemerintah bersedia untuk berbicara dengan para penyelidik ICC dan memberikan rincian penyelidikan Filipina atas kematian-kematian terkait pemberantasan narkoba, “tetapi memaksakannya pada kami, itu sama sekali tidak dapat diterima,” kata Remulla, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Ia mengatakan penyelidikan pemerintah atas pembunuhan tersebut memakan waktu lama karena sulitnya mengumpulkan bukti dan masalah-masalah lainnya.

Randy delos Santos, yang keponakannya berusia 17 tahun, Kian delos Santos, ditembak mati oleh polisi dalam penggerebekan antinarkoba pada Agustus 2017, mengatakan keputusan ICC menghidupkan kembali harapan di antara keluarga yang masih berduka bahwa mereka bisa mendapatkan keadilan dan bahwa orang-orang berpengaruh di balik pembunuhan-pembunuhan bisa dimintai pertanggungjawaban.

Lebih banyak kerabat tersangka yang terbunuh bersedia untuk berbicara sekarang dan mungkin bersaksi di depan ICC setelah berakhirnya masa jabatan enam tahun Duterte tahun lalu, katanya.

“Jika mereka takut untuk berbicara sebelumnya, mereka sekarang siap untuk menceritakan apa yang mereka ketahui tentang pembunuhan itu,” kata delos Santos, yang sekarang bekerja untuk sebuah badan amal gereja Katolik yang membantu keluarga tersangka yang terbunuh, melalui telepon.

Dalam vonis yang langka, pengadilan Filipina menyatakan tiga polisi bersalah atas keterlibatan dalam kematian Kian delos Santos di sebuah perkampungan kumuh di pinggiran kota Caloocan setelah menolak klaim mereka bahwa remaja itu melepaskan tembakan ke arah mereka dengan pistol sehingga mendorong mereka untuk membalas. Kamera keamanan dan keterangan saksi menunjukkan bahwa remaja itu diseret ke gang gelap dan ditembak mati saat ia memohon untuk dibiarkan hidup.

“Investigasi ICC di Filipina adalah satu-satunya jalan yang kredibel untuk keadilan bagi para korban dan keluarga mereka dari `perang melawan narkoba’ Duterte yang mematikan,” kata Phil Robertson, wakil direktur Asia dari kelompok Human Rights Watch. “ICC menawarkan jalan ke depan untuk mengisi kekosongan akuntabilitas.”

Pembunuhan yang diselidiki oleh ICC terjadi dari 1 November 2011 hingga 16 Maret 2019, di kota Davao, Filipina Selatan, tempat Duterte menjadi wali kota, dan kemudian di seluruh Filipina setelah Duterte menjadi presiden.

Duterte dan para pejabat tinggi kepolisiannya membantah bahwa mereka mengizinkan penegak hukum melakukan pembunuhan di luar proses hukum dan mengatakan sebagian besar korban tewas setelah melakukan perlawanan keras terhadap penangkapan. Meski demikian, Duterte secara terbuka pernah mengancam para pengedar narkoba dengan pembunuhan selama masa kepresidenannya.

Pada 2019, Duterte menarik mundur Filipina dari keanggotaan ICC setelah pengadilan itu menggelar pemeriksaan pendahuluan atas pembunuhan-pembunuhan tersebut. Para kritikus kemudian mengatakan bahwa Duterte ingin menghindari pertanggungjawaban. Namun, jaksa ICC mengatakan pengadilan tetap memiliki yurisdiksi atas dugaan kejahatan sewaktu Filipina menjadi anggotanya.

Presiden Ferdinand Marcos Jr., yang menggantikan Duterte, mengatakan ia tidak memiliki rencana untuk kembali menjadikan Filipina anggota ICC. [ab/uh]

  • Bagikan