Oleh: Rio Ferdinand
Dalam sepuluh tahun terakhir, perubahan iklim bukan lagi sekadar berita global. Ia telah mengetuk pintu rumah kita, menjadi percakapan di meja makan, hingga menjadi bahan diskusi di kelas dan komunitas. Generasi muda—khususnya Gen Z dan milenial—tampil di garis depan sebagai kelompok yang tak hanya menyuarakan kepedulian, tetapi juga mengambil langkah konkret. Salah satu bentuk aksinya adalah beralih ke kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Pilihan ini bukan hanya karena tren, tapi karena nilai: menjaga bumi, melindungi masa depan, dan hidup lebih bermakna.
Laporan Deloitte Global’s 2025 Gen Z and Milenial Survey mengungkap bahwa 89% Gen Z dan 84% milenial di Indonesia resah terhadap persoalan lingkungan, dan lebih dari 60% di antaranya merencanakan untuk membeli kendaraan listrik sebagai bentuk kontribusi terhadap pengurangan emisi karbon. Di balik keputusan tersebut, terdapat dorongan motivasional yang lebih dalam, mulai dari perlindungan diri dan keluarga, hingga pencarian makna dan penerimaan sosial. Ini adalah refleksi dari motivasi hidup generasi baru: hidup tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk planet dan sesama.
Generasi Z & Milenial: Agen Perubahan Iklim
Generasi muda kini memimpin revolusi hijau. Mereka bukan hanya mengikuti wacana, tetapi mulai menata hidup berdasarkan prinsip keberlanjutan. Menurut Deloitte, kecemasan terhadap isu lingkungan dalam sebulan terakhir dirasakan oleh hampir seluruh Gen Z dan milenial Indonesia—bahkan lebih tinggi dari rata-rata global.
Namun kecemasan itu tidak berhenti pada keluhan. Mereka mengambil tindakan. Sebanyak 63% Gen Z dan 56% milenial Indonesia berencana membeli kendaraan listrik. 64% Gen Z dan 65% milenial juga merencanakan perbaikan rumah agar lebih berkelanjutan. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa mereka menjadikan keberlanjutan sebagai bagian dari identitas, bukan sekadar pilihan gaya hidup.
Menurut Boyke Lakaseru, National Project Manager ENTREV (proyek kolaborasi UNDP dan Kementerian ESDM), “Generasi muda adalah aktor sentral dalam adopsi kendaraan listrik, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Kesadaran akan krisis perubahan iklim telah memicu generasi baru memilih gaya hidup yang rendah emisi.”
Kendaraan Listrik: Lebih dari Sekadar Alat Transportasi
Kendaraan listrik bukan sekadar moda transportasi baru, tapi simbol komitmen terhadap perubahan. Jika satu liter BBM dengan jarak 10 km menghasilkan 2,4 kg CO₂, maka kendaraan listrik hanya 1,3 kg CO₂—pengurangan yang sangat signifikan untuk masa depan lingkungan.
Namun menariknya, hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa motivasi anak muda dalam membeli kendaraan listrik tidak hanya sebatas isu lingkungan. Dalam survei terhadap 260 responden berusia 25–40 tahun, ditemukan bahwa alasan mereka mencakup:
1. Melindungi diri dan keluarga dari ancaman polusi dan iklim ekstrem.
2. Peduli terhadap pasangan dan relasi sosial—menunjukkan bahwa mereka bertanggung jawab dan visioner.
3. Membangun afiliasi dan komunitas baru, memperluas jaringan sosial.
4. Meningkatkan status sosial, dengan citra positif sebagai early adopter.
Dengan kata lain, membeli kendaraan listrik adalah bentuk ekspresi motivasi eksistensial generasi muda: untuk bertahan, diterima, dan dihargai.
Tantangan dan Solusi Nyata
Meski motivasi tinggi, bukan berarti jalan menuju adopsi kendaraan listrik tanpa hambatan. Hasil survei Populix pada Maret 2024 menunjukkan bahwa pengguna masih menghadapi tantangan serius, antara lain:
- Kekhawatiran akan daya baterai (65%),
- Keterbatasan jarak tempuh (61%),
- Minimnya bengkel yang melayani EV (49%), dan
- Terbatasnya infrastruktur pengisian daya (43%).
Namun berbagai solusi telah mulai dijalankan. Pemerintah mendorong pelatihan konversi motor listrik di SMK, memberikan subsidi, dan memperbanyak SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum). ENTREV aktif menggelar pelatihan dan kampanye ke pelajar dan mahasiswa.
Boyke menyebut generasi muda termasuk kelompok prioritas sekaligus garda depan dalam transisi energi. Daya adaptif dan kreativitas mereka akan berperan besar dalam proses kita beralih ke kendaraan rendah emisi
Di Kanada, hasil studi Volvo Car menunjukkan kecenderungan serupa: 51% Gen Z dan 54% milenial kemungkinan besar akan membeli kendaraan listrik. Alasan utamanya adalah krisis lingkungan dan efisiensi biaya bahan bakar. Bahkan, mereka mulai memilih sistem pembelian dengan harga tetap agar lebih terjangkau dan transparan—sesuai gaya belanja modern.
Kampanye Inklusif dan Masa Depan yang Hijau
Adopsi kendaraan listrik di kalangan muda tidak bisa dilihat hanya sebagai tren. Ini adalah transformasi sosial. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mencatat lonjakan penjualan mobil listrik dari 3.193 unit (2021) menjadi 23.154 unit (2023). Namun angka ini masih jauh dari target 600 ribu unit pada 2030.
Oleh karena itu, produsen dan pemerintah harus bekerja sama tidak hanya dalam hal teknis, tapi juga dalam memahami psikologi dan motivasi generasi muda. Kampanye yang sukses bukan hanya tentang angka emisi dan efisiensi, tapi tentang gaya hidup, identitas, dan makna.
Studi menunjukkan bahwa fitur seperti jarak tempuh pendek yang efisien, serta komunitas pengguna menjadi daya tarik utama bagi kaum muda. Ketika mobil listrik tidak lagi eksklusif, nilai tambahnya harus datang dari pengalaman emosional dan sosial yang ditawarkan.
Generasi muda telah menunjukkan bahwa motivasi hidup tidak harus bersifat egoistik. Mereka peduli terhadap sesama, terhadap planet ini, dan terhadap masa depan bersama. Dengan kendaraan listrik, mereka bukan hanya bergerak secara fisik, tetapi juga secara moral dan spiritual. Seperti kata Nelson Mandela, “The greatest glory in living lies not in never falling, but in rising every time we fall.” Dan generasi muda, melalui setiap keputusan kecil seperti membeli motor atau mobil listrik, sedang bangkit dan memimpin jalan.
Kini giliran kita, apakah siap jadi bagian dari perubahan ini?
*Penulis adalah Civitas Akademik Program Studi Penerbitan (Jurnalistik), Politeknik Negeri Jakarta