Suaraindo.id – Ekosistem Sungai Lae Batu-batu, salah satu sungai terbesar dan vital di Kota Subulussalam, Aceh, kini berada di ujung tanduk.
Dalam beberapa waktu terakhir, fenomena kematian ikan secara massal terus terjadi, memicu kekhawatiran akan terancamnya kelestarian hayati sungai serta keberlangsungan hidup warga yang bergantung pada aliran sungai tersebut.
Sungai Lae Batu-batu selama ini menjadi tulang punggung kehidupan bagi warga di sepanjang daerah aliran sungai (DAS).
Sungai ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber air bersih, tetapi juga menopang mata pencaharian nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan ikan sungai. Namun kini, harapan itu kian sirna.
Misteri di Balik Kematian Ikan Secara Massal
Kasus pertama kematian ikan dalam jumlah besar mencuat beberapa waktu lalu. Peristiwa ini mengejutkan warga, terlebih karena hasil pemeriksaan laboratorium oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kota Subulussalam menyatakan bahwa air sungai tidak mengandung zat pencemar.
Temuan ini justru menyisakan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Jika air tidak tercemar, lalu apa penyebab matinya ikan-ikan tersebut?
Kepala DLHK Subulussalam, Abdul Rahman Ali saat itu menyebutkan bahwa uji sampel air sungai tidak menunjukkan keberadaan bahan kimia berbahaya atau racun.
Tetapi hasil ini tidak menenangkan publik, justru menimbulkan kebingungan dan spekulasi.
Dugaan sementara bahwa limbah industri dari PT Mandiri Sawit Bersama (MSB) II sebagai penyebab, terbantahkan dengan hasil uji laboratorium dan jarak lokasi kejadian ikan mati yang cukup jauh dari kawasan pabrik.
Namun, seiring berjalannya waktu dan tanpa kejelasan hasil investigasi lebih lanjut, kasus ini pun perlahan tenggelam tanpa ada kejelasan hukum maupun penetapan pihak yang bertanggung jawab. Termasuk sampel ikan mati pun tak diketahui di mana rimbanya.
Terulang Kembali, Kini Lebih Dekat ke Pabrik
Namun misteri yang sempat mereda kembali mencuat ke permukaan. Pada Sabtu, 14 Juni 2025, kejadian serupa kembali terjadi.
Kali ini, ikan-ikan kembali ditemukan mati mengambang di Sungai Lae Batu-batu, tepatnya di hilir Jembatan Rikit, Desa Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat.
Yang mengejutkan, lokasi kejadian hanya berjarak tidak terlalu jauh dari perusahaan kelapa sawit yang sebelumnya juga sempat dicurigai oleh warga.
Kali ini, kecurigaan masyarakat terhadap dugaan pencemaran limbah industri dari perusahaan kembali menguat.
Puluhan warga yang tergabung dalam komunitas DAS Rikit mendatangi pabrik PT MSB. Mereka menuntut klarifikasi dan meminta pertanggungjawaban atas insiden kematian massal ikan serta dugaan pencemaran lingkungan.
Pemerintah dan Aparat Dinilai Lalai
Pemerhati Lingkungan Kota Subulussalam, Nukman Suriadi Angkat atau sapaan akrabnya Arung melihat bahwa masyarakat semakin resah karena menilai pihak pemerintah dan aparat penegak hukum terkesan lamban dan tidak serius dalam menangani masalah ini.
“Hingga kini, belum ada langkah konkret atau investigasi menyeluruh yang dilakukan secara terbuka kepada publik. Tidak ada pihak yang dimintai pertanggungjawaban secara resmi, tidak ada evaluasi dari dinas lingkungan hidup atas kegiatan industri di sekitar sungai.
“Kami heran, kalau bukan karena limbah, lalu kenapa ikan bisa mati massal begitu? Siapa yang bertanggung jawab? Mau sampai kapan ini dibiarkan?” tanya Arung, Senin (16/6/2025).
Kondisi ini membuat warga frustrasi dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem pengawasan lingkungan hidup yang ada.
Bahkan, suara-suara sumbang mulai menyuarakan adanya potensi pembiaran atau konflik kepentingan antara pihak berwenang dan pengelola industri.
Ancaman Nyata Bagi Ekosistem dan Kehidupan Sosial
Para pemerhati lingkungan memperingatkan bahwa matinya ikan dalam jumlah besar bisa menjadi pertanda awal kehancuran ekosistem air tawar di kawasan tersebut. Tidak hanya berdampak pada keberlangsungan spesies ikan lokal, tapi juga rantai makanan dan keseimbangan ekologis di sepanjang aliran sungai.
Lebih jauh, kondisi ini juga mengancam kehidupan sosial dan ekonomi warga sekitar. Nelayan kehilangan sumber pendapatan, air bersih menjadi tidak layak konsumsi, dan kesehatan warga berpotensi terancam akibat tercemarnya air sungai.
“Jika ekosistem sungai ini rusak, maka kehidupan manusia di sekitarnya juga ikut tergerus. Pemerintah harus turun tangan dan melakukan investigasi menyeluruh. Tidak bisa dibiarkan seperti ini,” kata Arung yang telah lama memantau kondisi Sungai Lae Batu-batu.
Desakan untuk Tindakan Tegas
Kasus kematian ikan ini tidak bisa dianggap sepele. Masyarakat menuntut transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum lingkungan yang jelas.
Perlu dilakukan audit lingkungan terhadap kegiatan industri di sekitar DAS, serta pembentukan tim independen untuk menyelidiki penyebab pasti kematian ikan yang terus terjadi.
Jika tidak ditangani secara cepat dan serius, dikhawatirkan Sungai Lae Batu-batu tidak hanya kehilangan fungsinya sebagai sumber air dan kehidupan, tapi juga menjadi simbol kegagalan perlindungan lingkungan di daerah.
Pabrik Sawit Buang Limbah ke Sungai? Ini Ancaman Pidana Sesuai UU Lingkungan
Praktik pencemaran lingkungan oleh industri kelapa sawit, khususnya pembuangan limbah cair ke sungai, bisa berujung pada ancaman pidana berat.
Pemerhati Lingkungan Kota Subulussalam, Nukman Suriadi menyebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur tegas sanksi terhadap pelaku pencemaran, baik perorangan maupun korporasi.
Ancaman Pidana Lingkungan Hidup Bentuk pelanggaran yang dapat dijerat pidana antara lain:
Membuang limbah tanpa izin
Menyebabkan pencemaran lingkungan
Merusak ekosistem sungai atau perairan
Tidak memenuhi baku mutu lingkungan
Sanksi pidana diatur dalam sejumlah pasal penting dalam UU PPLH: Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin terancam: Pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar
Pasal 98 Ayat (1), (2), dan (3)
Jika pencemaran menimbulkan bahaya serius bagi manusia atau lingkungan, hukuman lebih berat menanti: Penjara 3–10 tahun dan denda Rp 3–10 miliar
Jika pencemaran menyebabkan luka berat, sakit berkepanjangan, atau kematian: Pidana penjara hingga 15 tahun, denda maksimal Rp 15 miliar
Pasal 99
Untuk perbuatan yang merusak lingkungan hidup, termasuk ekosistem sungai: Pidana penjara 1–3 tahun, denda Rp 1–3 miliar
Sanksi Tambahan: Pasal 119
Tak hanya pidana penjara dan denda, pelaku pencemaran lingkungan juga bisa dijatuhi sanksi tambahan, berupa: Pencabutan izin usaha, pembekuan kegiatan operasional, kewajiban pemulihan lingkungan, penyitaan alat produksi.
Sungai Tercemar Jadi Ancaman Serius: Picu Penyakit dan Stunting pada Anak
Lebih lanjut, Arung juga menjelaskan bahaya pencemaran sungai akan memicu kasus stunting anak.
Menurutnya, pencemaran sungai di berbagai daerah di Indonesia kini menjadi sorotan serius, tidak hanya sebagai masalah lingkungan, tetapi juga sebagai ancaman nyata terhadap kesehatan masyarakat, terutama anak-anak.
Kondisi ini disebut berkontribusi terhadap meningkatnya angka stunting atau kekerdilan pada balita akibat sanitasi yang buruk dan akses air bersih yang terbatas.
Dikatakan, laporan terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa lebih dari 60% sungai di Indonesia berada dalam kondisi tercemar sedang hingga berat.
Limbah rumah tangga, industri, dan pertanian dituding sebagai penyebab utama pencemaran. Air sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, kini justru menjadi tempat berkembangnya bakteri dan zat berbahaya.
Menurut data Kementerian Kesehatan, anak-anak yang tinggal di wilayah dekat sungai tercemar memiliki risiko dua kali lebih tinggi mengalami stunting dibandingkan anak-anak di wilayah dengan sanitasi dan air bersih yang layak.
Paparan terhadap air tercemar menyebabkan gangguan pencernaan kronis seperti diare dan infeksi parasit, yang menghambat penyerapan gizi dan pertumbuhan anak.
“Air sungai yang tercemar tidak hanya menyebabkan penyakit kulit atau diare. Jangka panjangnya, ini mengganggu tumbuh kembang anak dan memperparah masalah stunting,” ujar Arung.
Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan imbauan. Harus ada penegakan hukum terhadap pembuang limbah, serta edukasi dan bantuan nyata untuk masyarakat.
“Jika tidak segera ditangani, pencemaran sungai dikhawatirkan akan memperburuk krisis kesehatan masyarakat dan menghambat target pemerintah untuk menurunkan angka stunting nasional hingga di bawah 14% pada tahun 2027,” ungkapnya.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS