Konfercab Bukan Sekadar Kontestasi: Saatnya GP Ansor Ketapang Menjadi Rumah Bersama

  • Bagikan
Tanaka

Oleh: Tanaka

GERAKAN Pemuda Ansor bukan organisasi kemarin sore. Ia lahir pada 24 April 1934 sebagai manifestasi semangat pemuda Nahdlatul Ulama dalam menjaga agama, bangsa, dan tanah air. Lahir dari rahim tradisi dan keikhlasan, Ansor tidak sekadar wadah perkumpulan anak muda, melainkan benteng moral dan sosial umat. Sejak awal, tujuannya tegas: membina kader-kader muda NU agar mampu berdakwah, berkhidmat, dan menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah serta merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kini, di Kabupaten Ketapang, kita tengah berada di ambang momentum penting: Konferensi Cabang (Konfercab) GP Ansor pada 26–27 Juli 2025. Namun mari kita sepakati bersama: Konfercab bukanlah sekadar ajang kontestasi adu kuat, strategi, dan ambisi. Lebih dari itu, ia adalah ruang silaturahmi, musyawarah, dan muhasabah—merenung kembali ke mana arah perjuangan kita selama ini, dan ke mana kita akan melangkah ke depan.

Pemimpin Ansor: Amanah, Bukan Ambisi

GP Ansor bukan partai politik. Ia bukan alat kekuasaan. Karena itu, siapa pun yang kelak terpilih sebagai ketua cabang harus memahami bahwa jabatan bukan tujuan, melainkan amanah. Yang dibutuhkan bukan sosok yang haus posisi, melainkan pemimpin yang siap memikul beban khidmat dengan penuh ketulusan.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh besar yang lahir dari rahim Ansor, telah memberi teladan: organisasi ini harus menjadi rumah bersama. Rumah yang terbuka untuk semua anak bangsa—tanpa sekat golongan, tanpa kepentingan faksi, dan bebas dari dominasi elite.

Jika GP Ansor menjadi eksklusif, hanya melayani segelintir orang, maka kita bukan hanya kehilangan arah—kita juga mengkhianati nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu.

Menyalakan Kembali Gairah Berorganisasi

Fakta di lapangan harus kita terima dengan jujur. Saat ini, GP Ansor Ketapang berkembang pesat di wilayah hulu, namun justru kehilangan denyut di kawasan perkotaan. Ini adalah tantangan besar yang harus dijawab oleh pemimpin cabang ke depan.

Gairah ber-Ansor tidak bisa hanya ditopang spanduk, baliho, atau rapat seremonial. Ia harus dihidupkan dengan kerja nyata: pendekatan kultural, penguatan kaderisasi, dan program-program yang menyentuh kebutuhan masyarakat akar rumput.

Pemimpin Ansor ke depan harus mampu menyatu dengan basis. Ia tidak cukup hadir dalam forum resmi, tapi juga harus menyentuh langsung problem yang dihadapi Pengurus Anak Cabang (PAC), menjembatani dinamika internal dengan pendekatan yang humanis, solutif, dan inklusif.

GP Ansor tidak boleh hanya dikenal dari seragam hijau atau iring-iringan bendera. Ia harus dikenal karena aksi nyata: dakwah yang membumi, kerja sosial yang berkelanjutan, pemberdayaan ekonomi yang berpihak, serta keberanian berpihak pada rakyat kecil.

Membesarkan Ansor Lewat Khidmat, Bukan Kepentingan

Kebesaran Ansor tidak ditentukan oleh siapa ketuanya, tetapi oleh seberapa besar keikhlasan kader-kadernya dalam berjuang. Pemimpin yang tulus akan memandang kader sebagai sahabat seperjuangan, bukan anak buah yang bisa dikendalikan seenaknya.

Ansor akan besar jika setiap langkahnya dilandasi semangat khidmat, bukan kepentingan politik atau dorongan kekuasaan. Modal utama organisasi ini adalah nilai, bukan uang; integritas, bukan jaringan kekuasaan.

Mari jadikan Konfercab ini sebagai momentum evaluasi dan refleksi bersama. Siapa pun yang terpilih, ia harus kita dukung, selama ia mampu menjaga semangat kebersamaan, menjunjung keadilan organisasi, dan meneguhkan keberpihakan kepada umat.

Karena pada akhirnya, seperti yang selalu diajarkan Gus Dur:

“Tidak penting apa pun sukunya, yang penting dia manusia.

*Penulis Adalah Wakil Ketua Bidang Kaderisasi PAC. Ansor Kecamatan Air Upas

  • Bagikan