Pilpres Timor Leste Putaran ke-2 Berlangsung di Tengah Perseteruan Politik

  • Bagikan
Seorang petugas pemilihan menunjukkan kertas suara saat suara dihitung selama pemilihan parlemen di Dili, Timor Leste, sebagai ilustrasi. (Foto: AP)

Suaraindo.id–Pemilihan presiden Timor Leste putaran kedua berlangsung Selasa (19/4). Rakyat harus memilih salah satu dari dua tokoh mantan pejuang kemerdekaan yang telah berseteru selama bertahun-tahun sehingga mengakibatkan kelumpuhan politik.

Peraih Nobel Perdamaian Jose Ramos-Horta memimpin dalam putaran pertama pemilihan tetapi gagal meraih lebih dari 50% suara yang dibutuhkan untuk menghindari putaran kedua. Pada pemilihan 19 Maret lalu, Ramos-Horta mendapatkan 46,6%, Presiden petahana Francisco “Lu Olo” Guterres meraih 22,1% dan 14 kandidat lainnya berbagi suara yang tersisa.

Ramos-Horta, 72, dan Guterres, 67, adalah tokoh perlawanan selama pendudukan Indonesia di Timor Leste yang dulu dikenal sebagai Timor Timur. Mereka masih mendominasi politik setelah dua dekade berlalu meskipun suara-suara yang lebih muda juga bermunculan. Lebih dari 76% suara bulan lalu direbut oleh kedua tokoh itu.

Pemenang pemilihan putaran kedua akan mulai menjabat pada 20 Mei, bertepatan dengan peringatan 20 tahun pemulihan kemerdekaan Timor Leste.

Calon presiden Timor Leste Jose Ramos Horta menunjukkan jarinya yang bertinta setelah memberikan suaranya dalam pemilihan presiden Timor Leste di Dili, Timor Leste, 19 Maret 2022. (Foto: REUTERS/Lirio da Fonseca)
Calon presiden Timor Leste Jose Ramos Horta menunjukkan jarinya yang bertinta setelah memberikan suaranya dalam pemilihan presiden Timor Leste di Dili, Timor Leste, 19 Maret 2022. (Foto: REUTERS/Lirio da Fonseca)

“Saya mengimbau masyarakat untuk menerima apapun hasil pemilu ini dengan bijaksana,” kata Guterres kepada wartawan saat memberikan suaranya di Dili, ibu kota Timor Leste.

Ramos-Horta, presiden Timor Leste dari 2007 hingga 2012, dan Guterres, telah saling menyalahkan mengenai kelumpuhan politik selama bertahun-tahun.

Pada tahun 2018, Guterres menolak untuk mengambil sumpah sembilan calon Kabinet dari Kongres Nasional Rekonstruksi Timor Timur, yang dikenal sebagai CNRT, sebuah partai yang dipimpin oleh mantan perdana menteri dan pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao, yang mendukung pencalonan Ramos-Horta sebagai presiden.

Guterres berasal dari Front Revolusioner untuk Timor Leste Merdeka, yang dikenal dengan akronim lokal Fretilin, yang telah memimpin perlawanan terhadap pemerintahan Indonesia.

Fretilin mengatakan Ramos-Horta tidak layak menjadi presiden, dan menuduhnya menyebabkan krisis sewaktu menjabat perdana menteri pada 2006. Pada waktu itu puluhan orang terbunuh setelah persaingan politik berubah menjadi konflik terbuka di jalan-jalan di Dili.

Kebuntuan politik terakhir menyebabkan pengunduran diri Perdana Menteri Taur Matan Ruak pada Februari 2020. Namun ia setuju untuk tetap menjabat sampai pemerintahan baru terbentuk dan untuk mengawasi respons terhadap pandemi virus corona. Pemerintahannya telah beroperasi tanpa anggaran tahunan dan mengandalkan suntikan keuangan bulanan dari simpanan dana negaranya, yang disebut Dana Perminyakan.

Selama kampanyenya, Ramos-Horta menyatakan ia akan mengadakan pemilihan parlemen dini. Banyak pihak khawatir bahwa mengadakan pemilihan dini hanya akan mengobarkan perpecahan antarpartai ketimbang mendamaikan mereka.

Presiden Jose Ramos-Horta menunjukkan surat suaranya saat memilih di sebuah TPS di Dili, East Timor (AP Photo/Firdia Lisnawati).
Presiden Jose Ramos-Horta menunjukkan surat suaranya saat memilih di sebuah TPS di Dili, East Timor (AP Photo/Firdia Lisnawati).

Posisi Ramos-Horta yang memimpin di putaran pertama kemungkinan tidak akan melemahkan aliansi yang berkuasa saat ini — Fretilin, Partai Pembebasan Rakyat atau PLP, dan Khunto — dalam mendukung Guterres. Partai PLP Ruak dan partai Khunto yang berbasis di pedesaan, telah secara terbuka berkomitmen untuk melanjutkan aliansi mereka dengan Fretilin hingga pemilihan parlemen 2023 jatuh tempo.

Ramos-Horta, setelah memberikan suaranya di Dili, mengatakan orang-orang terlalu lelah dengan perseteruan politik, yang menurutnya telah menyebabkan pengabaian masalah sosial dan ekonomi serta melonjaknya harga pangan. “Masyarakat Timor Leste menginginkan pemimpin baru untuk menyelesaikan masalah ekonomi di negara ini,” katanya. [ab/uh]

  • Bagikan