Praperadilan dan Gagasan Hakim Komisaris

  • Bagikan

Oleh: Pradikta Andi Alvat

CPNS Analis Perkara Peradilan (Calon Hakim) Pengadilan Negeri Rembang

DALAM makalah hukum berjudul Hakim Komisaris: Solusi ke Arah Prinsip Keadilan, Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa lembaga praperadilan secara praktis-normatif sebagaimana diatur dalam KUHAP tidak sejalan dengan visi awalnya (gagasan Oemar Seno Adji) sebagai manifestasi dari konsep hakim komisaris (rechter commisaris) atau lembaga pre-trial dalam sistem hukum Amerika Serikat.

Gagasan lembaga praperadilan sendiri pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan akuntabilitas kewenangan penegak hukum, mencegah tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum, menguji formalitas prosedur, yang bermuara pada perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana.

Menurut Indriyanto Seno Adji, secara praktis-normatif, lembaga praperadilan belum mampu melaksanakkan fungsi perlindungan HAM secara komprehensif, karena lembaga praperadilan hanya sekadar melaksanakan examinating judge dan itu pun terbatas pada pengujian dari segi administratif saja, sehingga tidak dapat menjangkau problema material-substantif.

Lembaga praperadilan tidak bisa melaksanakan fungsi examinating judge sekaligus investigating judge dalam satu tarikan nafas, dimana hal ini akan berimplikasi pada tidak terjangkaunya problema materil-substantif dalam praktik-praktik peradilan pidana yang tidak sehat (misalnya perlindungan tersangka/terdakwa dari penyiksaan saat proses pemeriksaan).

Oleh sebab itu, menurut Indriyanto Seno Adji, lembaga praperadilan seharusnya dikembalikan pada visi awalnya sebagai manifestasi dari konsep hakim komisaris atau lembaga pre-trial, yang pada intinya memberikan kewenangan yang luas kepada hakim baik dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga peradilan. Dengan demikian, hakim tidak hanya berwenang pada aspek pengujian segi administratif, tetapi juga dapat menginvestigasi secara langsung tentang realitas dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Hal ini akan menjadi sistem yang baik bagi perlindungan HAM tersangka/terdakwa dalam proses penyidikan dan penuntutan.

Dalam konsep hakim komisaris atau lembaga pre-trial, hakim dalam relasinya dengan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum tidak bersifat sinergi-koordinasi melainkan bersifat supervisi. Hakim memiliki wewenang luas untuk mengawasi dan mengoreksi proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Hakim mengontrol penuh proses berjenjang dalam sistem peradilan pidana.

Menurut hemat penulis, gagasan hakim komisaris atau pre-trial memiliki banyak sisi yang patut untuk diperdebatkan, baik secara teoritik, akademik, maupun praktik. Pertama, logika pembagian kekuasaan. Berdasarkan konstitusi UUD NRI tahun 1945, dapat dipahami bahwa Indonesia menganut prinsip pembagian kekuasaan dengan mekanisme checks and balances. Berdasarkan prinsip tersebut, maka jika konsep hakim komisaris diterapkan, dimana hakim memiliki wewenang extra untuk mengontrol fungsi penyidikan dan penuntutan, maka hal tersebut akan kontraproduktif dengan prinsip pembagian kekuasaan dan sistem checks and balances yang dianut oleh konstitusi.

Kedua, hukum pidana adalah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum publik, dalam arti, hukum yang dibuat oleh pemerintah sebagai perwujudan negara untuk melindungi hak dan kepentingan publik. Hukum publik adalah manifestasi peran pemerintah sebagai eksekutif untuk melindungi warga negara dan non-warga negara dari tindak pidana. Dalam hukum publik, sengketa yang timbul adalah antara negara dalam arti pemerintah vs person.

Oleh sebab itu, jika terjadi tindak pidana, maka fungsi penyidikan dan penuntutan akan menjadi domain eksekutif, karena secara logika, hal tersebut adalah hajat pemerintah dalam melaksanakan fungsi perlindungan. Sedangkan pengadilan (hakim) adalah manifestasi kekuasaan yudikatif sebagai pihak ketiga atau pengadil dalam sengketa antara pemerintah vs person (terdakwa). Maka dari itu, jika hakim dilibatkan dalam fungsi supervisi penyidikan dan penuntutan sebagaimana konsep hakim komisaris, maka akan terjadi kekacauan dari segi esensi hukum pidana sebagai hukum publik.

Ketiga, kapasitas beban kerja. Berdasarkan konsep hakim komisaris yang mengkonstruksi fungsi hakim dalam konteks supervisi proses penyidikan dan penuntutan, maka kewenangan dan beban kerja hakim otomatis akan semakin berat dan luas. Hal ini justru berpotensi besar menyebabkan terjadinya hal-hal yang kontraproduktif dan tidak efektif dalam wacana praktis.

Keempat, kekuasaan yang luas. Menurut Lord Acton, kekuasaan itu rawan disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut/luas sudah pasti akan disalahgunakan. Mengacu pada konsep hakim komisaris (sebagaimana makalah Indriyanto Seno Adjie) yang memberikan wewenang luas kepada hakim sejak tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentu memberikan potensi besar terciptanya ruang bagi praktik-praktik penyalahgunaan wewenang.

Kelima, urgensitas. Urgensi dari pada penerapan gagasan hakim komisaris secara normatif menjadi pertanyaan fundamental. Kalaupun akan diterapkan, maka tentu akan memerlukan banyak perubahan, tidak hanya perubahan KUHAP, tetapi juga undang-undang yang terkait lainnya (UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Kepolisian dll). Yang tentunya memerlukan waktu, biaya, dan energi yang besar.

Kemudian jika ditilik argumen terkait konteks perbandingan hukum bahwa konsep hakim komisaris di Belanda dan Amerika Serikat dapat berfungsi optimal dalam menjamin perlindungan HAM, maka hal tersebut tidak bisa serta merta akan berhasil jika diterapkan di Indonesia. Dalam perspektif sosiologi hukum, kondisi kultural, ekonomi, sumberdaya manusia, hingga struktur sosial menjadi elemen penting dalam penerapan hukum.

Oleh sebab itu, Robert Siedman (1972) mengatakan bahwa suatu hukum dari negara lain tidak bisa serta merta (efektif) diterapkan di negara lainnya, karena setiap negara memiliki konstelasi sosiologis-ekonomis-kultural yang berbeda. Misalnya, sistem e-tilang di Amerika Serikat bisa berfungsi efektif karena didukung sarana yang canggih dan memadai, sedangkan di Indonesia sistem e-tilang belum bisa berfungsi efektif karena keterbatasan sarana, yang akarnya adalah terkait kondisi ekonomi negara.

Solusi

Hakikat dari gagasan hakim komisaris sebagaimana pemikiran Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji adalah efektifitas perlindungan HAM tersangka/terdakwa dalam proses penyidikan dan penuntutan. Dengan konsep hakim komisaris, hakim bisa mengontrol dan memeriksa tersangka/terdakwa dan penyidik/penuntut umum terkait pelaksanaan fungsi penyidikan/penuntutan, sehingga semakin tertutup ruang bagi praktik-praktik kekerasan saat proses pemeriksaan tersangka/terdakwa, yang tidak bisa dilindungi dengan konsep lembaga praperadilan (karena sebatas menguji administratif).

Menurut hemat penulis, solusi untuk memperkuat perlindungan HAM dalam proses peradilan bukanlah penerapan konsep hakim komisaris (berdasarkan argumentasi di atas), melainkan dengan jalan memperluas akses terhadap keadilan dalam hal ini bantuan hukum, khususnya terhadap orang-orang yang tidak mampu. Ada dua hal yang perlu diperkuat untuk memperluas akses bantuan hukum yakni kepedulian negara melalui konsep bantuan hukum pro deo (alokasi anggaran dan kemudahan akses) dan konsep bantuan hukum pro bono oleh advokat sebagai tanggungjawab profesi. Dengan luasnya akses keadilan untuk memperoleh bantuan hukum, maka dengan sendirinya akuntabilitas wewenang dari penegak hukum akan menguat, praktik-praktik penyalahgunaan wewenang dan kesalahan prosedur pemeriksaan oleh akan semakin terminimalisir dan perlindungan HAM dalam proses peradilan akan semakin kokoh.

Penulis: RilisEditor: Redaksi
  • Bagikan