Suaraindo.id – Pemimpin militer yang berkuasa di Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, hari Rabu merinci rencana pemilu tahun ini dan menyerukan persatuan nasional dalam pidatonya, sewaktu ia memimpin upacara peringatan 75 tahun kemerdekaan negara itu dari Inggris.
Ia mendesak negara-negara lain dan organisasi internasional, serta rakyatnya sendiri, untuk mendukung “sistem demokrasi multipartai sejati yang memajukan disiplin,” sebuah konsep yang ditetapkan militer yang berkuasa sebagai tujuannya sejak menyingkirkan pemerintah terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021
Min Aung Hlaing juga mengumumkan grasi bagi 7.012 narapidana untuk memperingati hari kemerdekaan, serta pengurangan sebagian hukuman narapidana lainnya yang tidak dihukum karena melakukan kejahatan berat. Beberapa tahanan politik juga termasuk di antara yang dibebaskan, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa pengampunan ini akan mencakup Suu Kyi, yang oleh militer praktis ditahan tanpa dapat dihubungi orang lain sejak militer merebut kekuasaan.
Suu Kyi yang berusia 77 tahun menjalani hukuman penjara 33 tahun setelah divonis bersalah atas serangkaian dakwaan politik yang diajukan militer. Termasuk di antara dakwaan itu adalah secara ilegal mengimpor dan memiliki walkie-talkie, melanggar pembatasan terkait pandemi virus corona, melanggar UU rahasia resmi negara, penghasutan, pelanggaran pemilu dan korupsi. Ia ditahan sejak Juni di bungalo yang dibangun secara khusus di penjara utama di ibu kota Naypyitaw, dengan ditemani oleh tiga penjaga perempuan, tetapi diisolasi dari para narapidana lainnya.
Para pendukung Suu Kyi dan analis independen mengatakan kasus-kasus terhadapnya merupakan upaya untuk mendiskreditkannya dan melegitimasi perebutan kekuasaan oleh militer sambil mencegahnya ikut serta dalam pemilu yang menurut militer akan berlangsung Agustus mendatang.
Langkah nyata pertama untuk mengadakan pemilihan itu dapat berlangsung pada akhir bulan ini, sewaktu masa perpanjangan enam bulan terbaru keadaan darurat berakhir. Keadaan darurat diberlakukan untuk memungkinkan militer berkuasa setelah merebut kekuasaan pada Februari 2021 dari pemerintah terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi.
Pengambilalihan oleh militer itu membalikkan kemajuan ke arah demokrasi selama hampir satu dekade setelah pemerintahan militer selama lima dekade. Militer menyatakan mereka bertindak karena kecurangan besar-besaran dalam pemilu, meskipun para pemantau pemilu independen tidak menemukan pelanggaran bear.
“Setelah memenuhi peraturan keadaan darurat, pemilu yang bebas dan adil akan diadakan sesuai dengan konstitusi 2008, dan tugas lebih lanjut akan dilakukan untuk menyerahkan tugas-tugas negara kepada partai pemenang sesuai dengan standar demokrasi,” kata Min Aung Hlaing dalam pidatonya di Ibu Kota, Naypyitaw, di mana ia juga memimpin parade skala besar.
Unit-unit militer dan pegawai negeri berbaris di dekat kompleks parlemen yang megah, sementara jet-jet tempur, bomber dan helikopter terbang di atasnya.
Rencana pemilihan umum itu dianggap luas sebagai upaya menormalisasi perebutan kekuasaan oleh militer melalui kotak suara dan untuk memberi hasil yang memastikan para jenderal akan tetap berkuasa. Militer akan mengontrol seluruh proses dan telah menghabiskan dua tahun ini untuk melemahkan oposisi yang kredibel.
Meskipun tidak dilarang secara resmi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), bekas partai berkuasa yang populer, efektif telah bubar dengan para pemimpin dan banyak anggotanya yang dipenjarakan atau bersembunyi. Semua bentuk pembangkangan sekarang ini ditumpas oleh pasukan keamanan, kadang-kadang dengan kekuatan mematikan.
NLD yang dipimpin Suu Kyi meraih kemenangan telak kedua berturut-turut pada pemilu 2020, hasil yang memicu penggulingan oleh militer pada tahun berikutnya.
Pengambialihan kekuasaan itu memicu protes damai nasional yang oleh pasukan keamanan ditumpas dengan kekuatan mematikan, memicu perlawanan bersenjata yang oleh beberapa pakar PBB dianggap sebagai perang saudara. [uh/ab]