Celios Dorong Intensifikasi Lahan dan Teknologi untuk Meningkatkan Produksi Sawit Indonesia

  • Bagikan
Arsip Foto – Pekerja membawa tandan buah kelapa sawit di kawasan PT Perkebunan Nusantara II, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (19/11/2024). SUARAINDO.ID/SK

Suaraindo.id – Lembaga riset Celios mengungkapkan bahwa salah satu solusi untuk meningkatkan produksi sawit di Indonesia adalah dengan intensifikasi lahan dan peningkatan teknologi pertanian. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa masalah utama dalam produksi sawit di Indonesia adalah rendahnya produktivitas per hektar.

“Di Indonesia, rata-rata produktivitas sawit hanya mencapai 12,8 ton per hektar untuk tandan buah segar, sementara di Malaysia angka tersebut bisa mencapai 19 ton per hektar,” kata Bhima, Senin (13/1/2025), di Jakarta.

Menurut Bhima, selain intensifikasi lahan, teknologi pertanian yang lebih baik juga dibutuhkan untuk mengoptimalkan hasil dari perkebunan sawit yang ada. Ia menambahkan, sawit Indonesia sangat rentan menjadi sasaran proteksionisme negara maju, terlebih dengan adanya kebijakan baru dari Uni Eropa, yaitu European Deforestation Regulation (EUDR). Kebijakan ini mengharuskan perusahaan yang ingin mengekspor komoditas ke Eropa untuk memastikan bahwa produk yang mereka ekspor berasal dari sumber yang tidak terlibat dalam deforestasi.

“Karena itu, kebun sawit Indonesia harus menjadi lebih produktif tanpa memperluas lahan, sejalan dengan tuntutan EUDR yang mulai berlaku pada akhir 2024,” ujarnya.

Celios juga melakukan kajian terhadap kebijakan moratorium sawit, yang menurut mereka, jika dikombinasikan dengan skema replanting, dapat memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan pada tahun 2045. Berdasarkan riset tersebut, moratorium dan replanting berpotensi meningkatkan output ekonomi Indonesia sebesar Rp28,9 triliun, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) bertambah Rp28,2 triliun dan pendapatan masyarakat naik Rp28 triliun.

“Selain itu, moratorium akan mendorong peningkatan daya saing Indonesia di pasar internasional yang semakin peduli terhadap isu lingkungan,” tambah Bhima.

Moratorium sawit di Indonesia diberlakukan sejak disahkannya Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Kebijakan ini direncanakan berlangsung selama tiga tahun, yang kemudian diperpanjang hingga September 2021.

Pada akhir 2024, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan adanya rencana besar pemerintah untuk memanfaatkan lahan hutan yang terdegradasi untuk kebutuhan pangan, energi, dan air. Pemerintah telah mengidentifikasi sekitar 20 juta hektare kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Yanto Santosa, menyatakan bahwa sekitar 31,8 juta hektare kawasan hutan yang telah terdegradasi dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pangan dan energi, termasuk untuk penanaman sawit. Ia menjelaskan bahwa penambahan lahan sawit di kawasan hutan yang terdegradasi tidak dapat dikategorikan sebagai deforestasi.

“Jika penambahan lahan sawit dilakukan di kawasan yang sudah tidak berhutan atau terdegradasi, maka itu bukan deforestasi,” kata Yanto.

Dengan adanya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga riset, Celios optimis bahwa program intensifikasi dan peningkatan produktivitas sawit Indonesia dapat berjalan sukses dan tetap memenuhi standar lingkungan global.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan