KBRI Phnom Penh Tangani Dugaan TPPO Warga Aceh

  • Bagikan
Foto ilustrasi. (Suaraindo.id/net)

Suaraindo.id – Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Phnom Penh telah menerima laporan pengaduan dugaan tindak perdagangan orang (TPPO) WNI SN dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh.

Informasi ini disampaikan Duta Besar RI untuk Kerajaan Kamboja Santo Darmosumarto dalam keterangan tertulis yang diterima SuaraIndo.id, Rabu (21/5/2025).

“KBRI sudah melakukan komunikasi langsung dengan pihak keluarga WNI untuk dapatkan informasi detil, guna proses lanjutan ke otoritas Kamboja,” kata Santo Darmosumarto.

Sebelumnya diberitakan suaraindo.id seorang pemuda asal Banda Aceh, SN (22), diduga menjadi korban penyekapan dan penyiksaan di Kamboja lantaran tidak mampu membayar denda sebesar Rp 35 juta kepada pihak perusahaan tempat ia bekerja.

Korban diketahui berangkat bekerja di sebuah perusahaan di Kamboja, pada tahun 2024 setelah diajak temannya.

Namun, di sana, SN ditempatkan di perusahaan yang bergerak di bidang judi online.

Tak tahan karena kerap mendapat penyiksaan, korban berencana pulang ke Banda Aceh.

“Perusahaan memang bersedia melepaskan SN, tapi dengan syarat dia harus bayar denda sebesar Rp 35 juta,” kata anggota DPD RI Asal Aceh, H. Sudirman atau Haji Uma.

Haji Uma mengatakan, menurut keterangan ibu korban, Nur Asri, pihak perusahaan meminta tebusan agar anaknya bisa dibebaskan. Namun, karena keluarga tidak memiliki uang, SN diancam akan dijual ke perusahaan lain.

Menanggapi hal tersebut, Haji Uma langsung menyurati Kementerian Luar Negeri melalui Direktur Perlindungan WNI, Judha Nugraha, dan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar RI di Phnom Penh, Kamboja untuk memulangkan korban.

“Begitu mendapat kabar dari ibunya, saya langsung bersurat dan meminta Kemenlu serta KBRI di Kamboja segera menangani kasus ini. Kita juga sudah melakukan sosialisasi lewat media akan dampak pergi keluar negeri tanpa ada kontrak kerja lewat Dinas tenaga kerja yang legal dan jelas,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan keluarga agar tidak mengirimkan uang tebusan sepeser pun. Menurutnya, praktik seperti itu merupakan bentuk kejahatan yang berkedok pemerasan.

“Seperti pengalaman yang sudah-sudah banyak korban yang mengirim uang, tapi orangnya tidak pernah kembali. Ini harus dihentikan,” ungkapnya.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

  • Bagikan