![]() |
Mantan Narapidana Kasus Teroris bertemu dengan keluarganya. (Teras.id) |
Suaraindo.id- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berencana mengirimkan surat peringatan kepada Presiden Joko Widodo dan parlemen agar tidak menandatangani draf Peraturan Presiden tentang pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan tindak pidana terorisme. Aturan itu dianggap telah melanggar sejumlah undang-undang dan berpotensi mengembalikan wajah TNI seperti masa Orde Baru.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menyatakan draf perpres tersebut melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. “Perpres itu akan membuat karakter TNI seperti TNI di zaman orde baru yang keluar dari koridor negara hukum,” kata Anam kepada Tempo, Kamis, 29 Mei 2020.
Menurut Anam perpres tersebut sangat berbahaya, rentan disalahgunakan, dan sangat berpotensi menjadi alat untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia seperti di masa lalu. Apalagi di beberapa pasal mengizinkan TNI untuk melakukan semua jenis operasi intelijen dan operasi jenis lainnya.
Seharusnya, fungsi TNI hanya dibutuhkan dalam penanganan terorisme ketika kepolisian dianggap tidak mampu menanggulangi aksi terorisme. Kemudian TNI diperbantukan untuk melakukan penindakan dalam level yang terbatas, sesuai kebijakan politik presiden. Hal itu diamanatkan dalam undang-undang TNI maupun dalam undang-undang pemberantasan terorisme.
Wacana penerbitan perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme sebenarnya telah muncul sejak Mei 2018. Namun rencana itu urung dilakukan setelah mendapat kritikan keras dari koalisi masyarakat sipil dan Komnas HAM. Pada 2019 wacana penerbitan perpres ini muncul lagi namun berhasil digagalkan oleh masyarakat sipil. Kali ini, Presiden Jokowi kembali mewacanakan penerbitan perpres dengan meminta pandangan dari DPR.
Anam akan terus menentang jika rencana itu benar-benar dilakukan oleh pemerintah. Rencananya, Komnas HAM akan mengirimkan surat peringatan kepada Presiden Jokowi untuk tidak menandatangani perpres tersebut. Dia juga akan menganjurkan kepada DPR untuk mendorong agar pemerintah membuat Rancangan Undang-undang tentang Perbantuan TNI dalam Penanganan Terorisme. Sehingga mekanisme dan kewenangan TNI diatur dalam koridor hukum.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Julius Ibrani, juga menyatakan protes terhadap wacana penerbitan perpres itu. Menurut dia, draf itu memperkenankan TNI melampaui kewenangan dengan masuk ke dalam sistem peradilan sipil. “Perpres itu justru memberi kewenangan untuk melanggar sistem peradilan pidana ,” ucap dia.
Sistem peradilan pidana telah mengamanatkan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman untuk menjadi penegak hukum dalam tindak pidana terorisme. Militer akan merusak sistem peradilan jika memaksa masuk menggunakan mekanisme dalam rancangan perpres tersebut. “Karena orang militer tidak tunduk dengan peradilan umum, mereka punya KUHAP militer dan akan berpotensi melompati kewenangan.”
Juru Bicara Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, belum merespons ihwal kritik koalisi masyarakat sipil tentang rancangan perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme. Sebelumnya dia menjelaskan bahwa pihaknya masih mempelajari kritik masyarakat. “Saya dapati info dari tim, kalau draf perpres statusnya masih di Kemenhan, kami pelajari dulu ya,” ucap dia pada 11 Mei lalu.
Sumber:Teras.id