KPK Tanggapi MAKI Soal Kasus Dugaan Korupsi UNJ

  • Bagikan
Ilustrasi KPK. ANTARA

Suaraindo.id- Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, menanggapi kritik dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait kasus dugaan korupsi di Universitas Negeri Jakarta.

Perkara yang dilimpahkan ke polisi itu belakangan dihentikan karena tidak ditemukan indikasi korupsi.

“Baik ICW maupun MAKI sepertinya sedang tidak memahami aturan hukum dan bagaimana hukum ditegakkan, khususnya dalam teknis pembuktian unsur pasal tindak pidana korupsi,” ujar Ali Fikri menanggapi kritik dari MAKI, Jumat, 10 Juli 2020.

Menurut Ali Fikri, KPK bukan tidak mengetahui bahwa Rektor UNJ, Komarudin, merupakan penyelenggara negara. komisi antirasuah disebut bakal menindaklanjuti kasus itu jika ada perbuatan melanggar hukum dari Komarudin.

“Tetapi setelah dilakukan permintaan keterangan sejumlah pihak, tim KPK berpendapat belum ditemukan unsur perbuatan yang dilakukan pelaku penyelenggara negara,” ujar Ali Fikri.

Oleh karena itu, kata Ali Fikri, KPK wajib melimpahkan kasus itu kepada penegak hukum lain, yakni polisi. Langkah ini sesuai Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang juga menjadi poin kritik dari MAKI, Ali Fikri berasalan KPK hanya membantu dan memfasilitasi Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Karena pintu masuk KPK sesuai Undang-Undang KPK tentu harus ada dugaan perbuatan yang akan dilakukan oleh penyelenggara negara. Saat itu dugaannya adalah oleh rektor UNJ,” kata dia.

Sebelumnya, Koordinator MAKI, Bonyamin Saiman, menilai kasus dugaan korupsi di UNJ merupakan kesalahan dari KPK sejak awal. Kesalahan itu menurut dia, karena OTT oleh KPK memang gagal.

“Karena KPK enggak mau malu, sekelas KPK melakukan OTT kok gagal, jadi ngomong tidak ada penyelenggara negara padahal rektor pejabat eselon 1, terus kasusnya diserahkan ke polisi, ya, semakin salah,” ujar Bonyamin kepada Tempo pada Jumat, 10 Juli 2020.

Menurut Bonyamin, sejak awal KPK sudah mengetahui bahwa peristiwa di UNJ hanya merupakan saweran berupa pemberian tunjangan hari raya atau THR kepada pegawai di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia berujar tak ada unsur paksaan seperti pungli atau suap.

“Karena kalau OTT harusnya sudah terjadi perbuatan. Tapi karena mau gagah-gagahan, buatlah OTT,” kata dia.

Menurut Bonyamin, peristiwa di UNJ ini harusnya diakui KPK sebagai kegagalan melakukan operasi. Jika mau memberi sanksi, kata dia, rektor UNJ bisa diturunkan dari jabatannya karena penyelenggara negara memang tidak dibolehkan memberikan saweran, parsel atau THR.

“Kalau seperti itu kan pas, lebih enak. Jangan malah diserahkan kasusnya ke polisi,” kata dia.

KPK dan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan OTT pada 20 Mei 2020 dengan menangkap Kepala Bagian Kepegawaian UNJ, Dwi Achmad Noor.

Dalam kasus ini, Rektor UNJ, Komarudin, diduga meminta dekan fakultas dan lembaga lain di universitas itu untuk mengumpulkan THR masing-masing Rp 5 juta melalui Dwi Achmad. THR rencananya akan diserahkan ke Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti dan sejumlah staf SDM di Kemendikbud.

Pada 19 Mei 2020, terkumpul uang sebesar Rp 55 juta dari 8 Fakultas, 2 Lembaga Penelitian dan Pascasarjana di UNJ. Keesokan harinya, Dwi Achmad membawa uang Rp 37 juta ke kantor Kemendikbud.

Dia menyerahkan uang itu kepada Kepala Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp 5 juta, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp 2,5 juta, serta staf SDM Parjono dan Tuti masing-masing sebesar Rp 1 juta. Setelah itu Dwi diciduk tim KPK dan Itjen Kementerian.

Karena alasan tidak ada penyelenggara yang terlibat, KPK lantas menyerahkan kasus itu ke Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan. Kasus ini kemudian dilimpahkan untuk kedua kalinya ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Belakangan, Polda menghentikan kasus ini.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan kasus terkait rektor UNJ ini dihentikan karena penyidik tidak menemukan indikasi korupsi. “Pidananya ini tidak sempurna dan tak masuk dalam pasal yang disangkakan,” kata dia Yunus di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis, 9 Juli 2020.

  • Bagikan