Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi Masih Positif, Tetapi Tetap Waspada

  • Bagikan
Foto udara menunjukkan hiruk pikuk kendaraan di sejumlah ruas jalan pada pagi hari di Jakarta pada 28 September 2022. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah tetap mewaspadai pelemahan ekonomi dan ketidakpastian global meskipun kondisi perekonomian dalam negeri hingga kini masih cukup positif. Berbagai lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional hanya akan terkoreksi sedikit menjadi di bawah 5 persen pada 2023 dibandingkan perkiraan tahun ini sebesar 5,3 persen.

Padahal pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 –sebagaimana diproyeksikan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF)- hanya berada di 3,2 persen pada 2022. Dan angka tersebut diproyeksikan akan menurun pada tahun depan. Tren penurunan ini juga terlihat dari proyeksi pertumbuhan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS), China, dan sejumlah negara Eropa.

Sri Mulyani memaparkan kinerja sektor eksternal Indonesia masih cukup positif. Hal itu terlihat dari neraca perdagangan yang terus surplus selama 29 bulan berturut-turut dan mencetak angka

surplus $4,99 miliar pada September 2022. “Neraca perdagangan ini memberikan bantalan terhadap gejolak yang terjadi dari arah ekonomi global. Ekspor kita masih tumbuh cukup tinggi, yaitu 20,28 persen,” tambahnya secara daring, Jumat (22/10/2022).

Mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut menjelaskan bahwa pertumbuhan ekspor dan impor yang positif itu dipengaruhi penguatan harga komoditas global yang tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu di antaranya komoditas sawit, batu bara, dan gas alam.

Seorang pekerja memuat buah sawit milik PT Perkebunan Nusantara VIII Kertajaya di Banten, 19 Juni 2012. (Foto: REUTERS/Supri)
Seorang pekerja memuat buah sawit milik PT Perkebunan Nusantara VIII Kertajaya di Banten, 19 Juni 2012. (Foto: REUTERS/Supri)

Sedangkan untuk inflasi, pemerintah mencatat angka inflasi Indonesia relatif masih moderat dibandingkan negara lain, seperti Australia, Thailand, dan Filipina yang di atas 6 persen.

“Inflasi masih cenderung tinggi, walaupun tahun depan diperkirakan sedikit mengalami penurunan. Walaupun pada level tinggi kalau menggunakan standar 10 tahun terakhir,” jelasnya.

Pemerintah dan DPR sendiri telah menetapkan sejumlah asumsi makro yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanjar Negara (APBN) 2023, di antaranya pertumbuhan 5,3 persen, inflasi 3,6 persen dan tingkat suku bunga Surat Utang Negara (SUN) 7,9 persen.

Seorang pekerja mengendarai sepeda motor melewati tumpukan peti kemas di Terminal Peti Kemas IPC Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 4 November 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Seorang pekerja mengendarai sepeda motor melewati tumpukan peti kemas di Terminal Peti Kemas IPC Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 4 November 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Pertumbuhan Kurang dari 5 Persen

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan hanya berada di angka 4,7 persen atau di bawah target pemerintah. Menurutnya, faktor pelambatan ekonomi di China akan berpengaruh besar terhadap ekonomi Indonesia.

“Dibanding resesi di Amerika dan zona Eropa, ekonomi China perlu lebih diwaspadai karena China hadapi krisis properti yang berkepanjangan dan krisis pandemi. Ekspor dan investasi asal China sangat menentukan pertumbuhan berbagai indikator ekonomi Indonesia,” jelas Bhima kepada VOA, Sabtu (22/10/2022).

Sementara dari dalam negeri, dampak kenaikan harga BBM akan terasa pada inflasi transportasi dan pangan pada tahun depan. Sedangkan untuk konsumsi rumah tangga diperkirakan masih membutuhkan waktu untuk pulih. Di sisi lain, realisasi investasi akan menunggu karena investor masih harus mempertimbangkan pemilu 2024.

“Pangan, energi perlu dijaga, kurangi ketergantungan impor. Percepatan transisi energi juga bisa membuat Indonesia lebih kuat secara fundamental karena mengurangi ketergantungan pada fluktuasi harga minyak.” tambahnya.

Ia menyarankan pemerintah mengambil sejumlah kebijakan relaksasi untuk menjaga ekonomi nasional. Salah satunya dari sisi konsumen yaitu pengurangan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 8 persen. Kata dia, kebijakan ini dapat membantu konsumsi rumah tangga kelas menengah yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi sekaligus membantu kenaikan omset pelaku usaha ritel.

Selain itu, Bhima berpendapat, kenaikan suku bunga secara umum dapat diimbangi dengan pemberian subsidi bunga yang lebih besar bagi Kredit Usaha Mikro maupun sektor properti. Bantuan terhadap pelaku UMKM dengan penurunan bungan menjadi 2-3 persen bisa memberikan efek berantai pada serapan tenaga kerja.

Seorang perempuan mengenakan masker untuk mencegah penularan COVID-19 sedang berbelanja di sebuah pasar tradisional di Jakarta, 1 Maret 2021. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)
Seorang perempuan mengenakan masker untuk mencegah penularan COVID-19 sedang berbelanja di sebuah pasar tradisional di Jakarta, 1 Maret 2021. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

“Sektor properti perlu menjadi perhatian karena terkait dengan 175 sub sektor usaha, khususnya logistik dan industri pengolahan.”

Ia mencontohkan bentuk bantuan di sektor properti yaitu penambahan subsidi bunga dalam skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari 5 persen menjadi 4 persen. Ini supaya masyarakat berpenghasilan rendah dapat lebih terbantu dalam mengajukan kredit pembangunan rumah (KPR). Subsidi uang muka juga diharapkan menarik minat masyarakat dalam memutuskan pembelian rumah pada tahun 2022-2023. [sm/ah]

  • Bagikan